H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
“Tak terasa lagi nikmatnya bersama, setelah prasangka
mencurangimu dengan meringkus keterpaduanmu, dengan memupus kemesraanmu,
dari kenikmatanmu bersungguh-sungguh.”
Ia pribadi sederhana.
Seorang Anshar dengan paras teduh, dengan janggut masih terbasahkan
oleh bulir air wudhu. Ia berjalan memasuki majelis Rasulullah dengan
tangan kiri menjinjing sandal. Tanpa sepengetahuannyanya, sesaat
sebelumnya sahabat dibuat penasaran siapa lelaki yang disebut sang
Nabi. “Sebentar lagi,” ucap sang baginda ditengah memberi nasehat, “akan
lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni syurga”
Seperti
yang kita pahami dari hadits masyhur ini, yang disampaikan Anas Ibn
Malik dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Nasa’i, bahwa kemudian
Rasulullah hingga tiga kali menyebut kedatangan salah seorang penghuni
surga di majelis cahayanya, dan selanjutnya diiringi kemunculan sosok
sederhana yang sama, lelaki Anshar itu.
“Demi Allah, tentang apa
yang aku amalkan ini,” ujar lelaki surga itu setelah dibuntuti selama
tiga hari oleh Abdullah Ibn Amr, “tak lebih dari apa yang kau saksikan.”
Hampir saja Abdullah Ibn Amr menyerah dan merasa usahanya percuma,
sebelum ia mendengar lanjutannya, “Hanya saja saja aku tak pernah
menyimpan niat buruk terhadap saudaraku sesama muslim. Aku juga tak
pernah ada rasa dengki kepada mereka yang mendapat anugerah dari Allah”.
“Begitu
bersihnya hatimu,” Abdullah Ibn Amr membalas, “dari prasangka buruk dan
perasaan dengki kepada orang lain. Inilah nampaknya keutamaan yang
membuatmu berada di tempat yang termulia itu. Sesuatu yang tak dapat aku
lakukan”.
Mencari hikmah dari cerita ini, saya dapatkan
kesimpulan bahwa membenamkan ria-riak prasangka rupanya menjadi sebuah
kunci sederhana untuk menjemput pintu surga. Hati yang bersih dari
prasangka akan tampak sederhana, sesederhana dirinya menjaga
keikhlasannya, dan tidak semua insan bisa melakukannya. “Sesuatu yang
tak mudah aku lakukan” ujar Abdullah Ibn Amr.
Surga dari kisah
itu, seperti tempat yang dipenuhi insan yang lembut hati, lembut lisan,
dan lembut akhlaqnya. Begini sederhananya; “dengan memangkas prasangka,
jadilah insan yang lembut hatinya. Memangkas dusta, jadilah insan lembut
lisannya. Memangkas dosa, jadilah insan yang lembut akhlaqnya.”
Memutar
jenak ingatan, sebelum menulis catatan ini, saya seperti diingatkan
kembali pada potongan tulisan ketika pernah menorehkannya di status
media sosial, diangkat dari catatan kecil selepas melingkar, berjudul
“Membenahi Prasangka Kita”
“Sungguh kita pun berhak, menilai
saudara kita yang kita cintai dari yang tampak oleh kita. Namun, jangan
sekali-kali kau menghukuminya dari yang luput oleh kasat mata; baik
niatnya, motifnya, dan kepentingannya. Karena sungguh, itu urusannya
dengan Tuhannya.” (3 Januari 2012)
Mari kita kembalikan pada diri
ini. Kita, dengan tingkat keimanan yang tiada seberapa, “Mengapa terasa
begitu ringannya berprasangka?” Bahkan, menyangkut kepribadian orang
lain, tanpa selektif, merasa tidak perlu informasi lebih lanjut ketika
menemukan kesalahan pada dirinya, karena merasa cukup pengetahuan
mengenai jati dirinya, dan seolah-olah memiliki otoritas untuk membuat
kesimpulan penuh untuk menggambarkan seluruh kepribadiannya.
“Prasangka
itu,” sebagaimana dikutip Liliweri (2001), “merupakan salah satu
rintangan untuk kegiatan komunikasi. Manusia yang berprasangka, akan
mendahulukan sikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi.”
Derasnya prasangka, membuat emosi memaksa kita untuk
menarik kesimpulan atas dasar duga-duga (syak wasangka). Sekali
prasangka itu sudah mencekam, maka otak seperti tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengambil keputusan secara jernih, objektif, dan segala
apa yang dilihatnya selalu akan dinilai negatif.
Hal yang
menyakitkan dari hadirnya prasangka ini, betapa mudahnya merenggut
nurani, sedetik saja prosesnya, dan yang terinfeksi akan segera menutup
mata pada ratusan kebaikan insan yang disangkai. Pada tahap yang kritis,
prasangka akan merenggut kasih sayang terhadap orang-orang beriman,
sehingga mengantarkannya untuk turut membenci keshalihan.
Maka dari itu, kita senantiasa diajarkan doa ini, “Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Saya
buka kembali ingatan 3 tahun yang lalu, kala dileraikan dalam sebuah
perdebatan. “Hadirkan 100 pertanyaan!” dengan tegas sahabat saya
mengingatkan, “mengapa Antum merasa harus membencinya? Jika ghil di hati
itu masih belum pudar, berikan kesempatan ia dengan 100 pertanyaan
lagi.”
Apa yang terjadi? Belum sampai pada pertanyaan ke sepuluh,
kebencian itu sirna. Dan saya tersadar; “tidak ada manusia yang
benar-benar nista, kecuali karena kita belum mengenalnya dengan utuh.”
Ah,
pertanyaan ini mengingatkan saya pada sang teladan Rasulullah SAW, sang
pemaaf itu, bahkan ketika mendapatkan kabar dirinya difitnah Abdullah
bin Ubay, ia masih ingin memastikan bahwa Zaid bin Arqam sudah
menyeksamai beritanya dengan baik. “Mungkin kau sedang marah padanya?”,
“Mungkin kau tidak jelas mendengarnya?”, “Mungkin ada kata-katanya
yang kamu lupa?”
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang imam yang
zuhud dari kalangan sufi itu memiliki 6 tips agar selalu bersangka baik
terhadap seluruh klasifikasi insan, simaklah:
1) Jika engkau
bertemu dengan seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu.
Ucapkan dalam hatimu: “Mungkin kedudukannya di sisi Allah jauh lebih
baik dan lebih tinggi dariku”
2) Jika bertemu anak kecil, maka
ucapkanlah dalam hatimu: “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah,
sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepadaNya. Tentu anak ini jauh
lebih baik dariku”.
3) Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah
dalam hatimu: “Dia telah beribadah kepada Allah jauh lebih lama dariku,
tentu dia lebih baik dariku.”
4) Jika bertemu dengan seorang yang
berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Orang ini memperoleh kurnia yang
tidak akan kuperolehi, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah
kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan
ilmunya, tentu dia lebih baik dariku.”
5) Jika bertemu dengan
seorang yang bodoh, maka katakanlah dalam hatimu: “Orang ini bermaksiat
kepada Allah karena dia tidak tahu, sedangkan aku bermaksiat kepadaNya
padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir
umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku.”
6) Jika
bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu: “Aku tidak
tahu bagaimana keadaannya kelak, mungkin di akhir usianya dia memeluk
Islam dan beramal shalih. Dan mungkin boleh jadi di akhir usia diriku
kufur dan berbuat buruk.
“Ucapkanlah dalam hatimu”, nasihat Syeikh
Abdul Qadir ini seperti menuntun qalbu berdiskusi. Sejujurnya, ini
bentuk interaksi yang teramat sering kita lupakan. Kala hati mampu
bicara dan nurani mampu menasihati. Dan 6 nasihat indah ini, sekaligus
menjadi rahasia mengapa sang lelaki surga begitu mudahnya diingat
Rasulullah sebagai penghuni surga, yang tidak menyadari bahwa amalannya
dikagumi Allah dan penduduk langit, hingga kisah itu mengabadi.
Hm,
terlalu panjang saya berbagi cerita yang pernah saya baca. Ini pertanda
saya sedang berusaha merenungi berbagai hikmah cerita ini dengan
mendalam. Eh, sebentar, jangan-jangan yang menuliskan catatan ini juga
orang yang berprasangka buruk? Ya Allah ampunilah dia & bimbing dia
untuk menyembuhkannya.
Berbaik sangka pada Allah itu menenteramkan.
Berbaik sangka kepada sesama itu meringankan.
Berbaik sangka yang membuat hidup selalu tercukupkan.
Berbaik sangka yang membuat kisah perjuangan menjadi kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar