Sabtu, 11 Februari 2012

Resep Mengelola Kerumitan Hidup

H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah

Al-Quran tidak cukup dibaca saja. Sekalipun membaca saja memperoleh pahala, dihitung setiap hurufnya. al-Quran akan menjadi penggugat kita di hadapan Allah SWT (hujjatu ‘alaina) manakala tidak diamalkan isinya. Membaca al-Quran harus dibarengi dengan memahami maknanya dan mengamalkannya dalam segala aspek kehidupan. Agar lahir kehidupan pribadi yang berkualitas secara lahir dan batin, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, masyarakat yang diberkahi, negara yang aman, beberapa negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan.

Namun realitasnya kini, umat Islam tidak mensyukuri nikmat al-Quran. Kitab suci ini belum dijadikan resep untuk mengelola kerumitan kehidupan, tetapi sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.

Yang lebih ironis, sebagian umat Islam memandang al-Quran diturunkan untuk orang yang telah mati. Ketika hidup firman Allah SWT tersebut disimpan rapat-rapat di almari. Baru ketika meninggal, minta dibacakan orang lain. Sikap tersebut menggambarkan bahwa al-Quran hanya dijadikan mantra yang bernuansa mistik, tidak dijadikan resep dalam mengelola pasang surut (fluktuasi) kehidupan di dunia ini.
Perlakuan kita  terhadap al-Quran ini, mungkin menyebabkan krisis multidimensional yang bersifat mikro (‘azamat shughra) dan krisis global (‘azamat kubra).
    
\"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta\". Berkatalah ia: \"Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?\" (QS. Thaha (20) : 124).

Maksud kehidupan yang sempit, adalah kehidupan yang didera/dibelit dengan berbagai persoalan dan tidak menemukan jalan keluarnya. Atau kehidupan yang serba cukup, dengan tersedianya makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tetapi semua yang dimilikinya itu justru membuat lubang kehancurannya (istidraj). Sehingga dia tidak bisa memaknai dan menikmatinya. Adapula yang berpendapat, disempitkan liang lahatnya. Ketika meninggal, tempat peristirahatannya yang terakhir menolaknya, sekalipun sebelumnya lubang kuburnya telah diukur melebihi jasadnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar