H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Al-Quran
tidak cukup dibaca saja. Sekalipun membaca saja memperoleh pahala,
dihitung setiap hurufnya. al-Quran akan menjadi penggugat kita di
hadapan Allah SWT (hujjatu ‘alaina) manakala tidak diamalkan
isinya. Membaca al-Quran harus dibarengi dengan memahami maknanya dan
mengamalkannya dalam segala aspek kehidupan. Agar lahir kehidupan
pribadi yang berkualitas secara lahir dan batin, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, masyarakat yang diberkahi, negara yang aman, beberapa negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan.
Namun realitasnya kini, umat Islam tidak mensyukuri nikmat al-Quran.
Kitab suci ini belum dijadikan resep untuk mengelola kerumitan
kehidupan, tetapi sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa
pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, orientasi dan perilaku
kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.
Yang lebih ironis, sebagian umat Islam memandang al-Quran diturunkan
untuk orang yang telah mati. Ketika hidup firman Allah SWT tersebut
disimpan rapat-rapat di almari. Baru ketika meninggal, minta dibacakan
orang lain. Sikap tersebut menggambarkan bahwa al-Quran hanya dijadikan
mantra yang bernuansa mistik, tidak dijadikan resep dalam mengelola
pasang surut (fluktuasi) kehidupan di dunia ini.
Perlakuan kita terhadap al-Quran ini, mungkin menyebabkan krisis multidimensional yang bersifat mikro (‘azamat shughra) dan krisis global (‘azamat kubra).
\"Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta\". Berkatalah ia: \"Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah
seorang yang melihat ?\" (QS. Thaha (20) : 124).
Maksud
kehidupan yang sempit, adalah kehidupan yang didera/dibelit dengan
berbagai persoalan dan tidak menemukan jalan keluarnya. Atau kehidupan
yang serba cukup, dengan tersedianya makanan, pakaian dan tempat
tinggal. Tetapi semua yang dimilikinya itu justru membuat lubang
kehancurannya (istidraj). Sehingga dia tidak bisa memaknai dan
menikmatinya. Adapula yang berpendapat, disempitkan liang lahatnya.
Ketika meninggal, tempat peristirahatannya yang terakhir menolaknya,
sekalipun sebelumnya lubang kuburnya telah diukur melebihi jasadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar