Selasa, 15 November 2011

Fitrah Membimbing Perlu Dihidupkan

Dalam diri setiap manusia terdapat fitrah yang menjadi ciri khasnya dibanding makhluk lain. Fitrah itu berupa dorongan untuk membimbing dirinya dan sesama manusia agar menapaki jalan hidup yang lurus, mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa, keinginan untuk mengekspresikan ketundukan kepada-Nya, serta melakukan segala aktivitas yang tidak melanggar kehendak-Nya.


Sayangnya, banyak manusia yang membiarkan fitrah itu meredup. Bahkan sebaliknya, membiarkan sifat zalim tumbuh subur dalam dirinya.

Banyak orang kemudian lupa dengan komitmen penghambaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan dan selalu memeliharanya. Komitmen itu hanya terucap di mulut, tidak sampai ke hati, apalagi terealisasi dalam bentuk amal perbuatan.

Lebih celaka lagi bila kondisi seperti ini melanda orang-orang yang justru sedang memimpin manusia. Manalah mungkin ia bisa membimbing manusia yang dipimpinnya sedang ia sendiri tak mampu membimbing dirinya sendiri. Ia telah membuang jauh-jauh fitrah itu dalam dirinya.

Syaikh Nashir al-Sa’dy berkata, “Sesungguhnya semua hukum syariat, baik yang zahir maupun yang batin, Allah telah meletakkan kecenderungan kepadanya dalam hati manusia. Allah menaruh dalam hati mereka kecenderungan untuk mencintai yang haq dan mengutamakannya. Ini adalah hakikat dari fitrah. Barang siapa yang keluar dari kondisi yang asal ini, maka tidak lain karena adanya faktor baru yang merusak fitrah tersebut.”(al-Sa’dy, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 640)

Urgensi Fitrah Membimbing

Fenomena lupa pada fitrah membimbing manusia pada jalan yang lurus seperti itu sudah kerap kita temui sekarang. Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali fitrah ini menjadi hal yang sangat urgen. Mengapa?

Berikut ini beberapa alasannya.

1. Sebagai manusia yang masih selamat fitrahnya, kita harus peduli dan empati kepada manusia lain yang dasarnya mempunyai fitrah beriman, tapi sayangnya mereka menjadi korban bujukan setan, baik dari kalangan jin maupun manusia.

Dalam Hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman, ”Dan Aku menciptakan hamba Ku semuanya dalam kondisi mengikuti jalan lurus (hunafa’), tetapi kemudian mereka dibelokkan setan…” (Riwayat Muslim).
Kerusakan akibat kecelakaan fitrah berbeda dengan kerusakan akibat kecelakaan fisik. Pada kecelakaan fisik, korban hampir pasti tidak menerima keadaan tersebut dan menuntut pihak yang menjadi penyebabnya. Sedang korban kerusakan akibat kecelakaan fitrah sebagian besar justru dengan suka rela dan merasa bangga menjadi pengabdi setan.

Menyadari kondisi tersebut, kita harus terpanggil untuk membantu mereka. Apalagi bila mereka orang-orang terdekat yang kita cintai. Misalnya, anak, orang tua, atau saudara.

2. Membuka kembali fitrah yang bermasalah akibat adanya penutup, menurut Ibn Taymiyyah, adalah misi para Rasul. ”Setelah berbagai noda yang menutupi itu terbuka kembali maka manusia akan mengetahui apa yang sebelumnya pernah mereka ketahui.” (Ibrahim al-Buraikan, Manhaj Ibn Taymiyah fi Taqrir ‘Aqidah al-Tawhid, I/197). Pengetahuan inilah yang disebut dengan fitrah atau al-‘ilm al-dharuri sebagaimana dikatakan al-Syaikh Abd al-Salam al-Ahmar.

Konsekuensinya, bagi mereka yang ingin betul-betul menjadi penerus misi para Nabi, harus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Rasulullah dan para Rasul lainnya. Mereka tulus berjuang melakukan pencerahan atas fitrah-fitrah yang terhijab, membimbing fitrah itu kembali ke jalan yang lurus.
3. Jika seseorang memang jujur menyayangi diri, keluarga, dan keturunannya maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan segala upaya agar fitrah mereka terjaga. Pengetahuan dasar yang tercetak dalam hati mereka harus tersambung secara sempurna dengan wahyu sebagai pengetahuan rinci sekaligus penuntun dorongan kebaikan yang berasal dari fitrah tersebut.

Korelasi ini dinyatakan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ke-17 dari Surat Hud [11]. Menurutnya, ”Yang demikian itu karena sesungguhnya seorang mukmin memiliki fitrah yang mengakui kebenaran syariat secara global. Adapun rinciannya, maka diambil dari syariat, sementara fitrahnya membenarkan dan mengimaninya.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, IV/312).

4. Selama fitrah masih terhijab, pengetahuan mengenai wahyu hanya akan berhenti pada akal. Pengetahuan ini tidak efektif menjadi energi yang menggerakkan. Sebab, ajakan eksternal belum tersambung dengan dorongan internal untuk berbuat.

Ibnu Taymiyyah menyebutkan enam hal yang dapat menutup fitrah, yaitu lingkungan, pemikiran sesat, syahwat berkuasa, kesengajaan untuk berpaling dari fitrah, dosa, dan yang paling berat adalah sengaja melupakan Allah. (Ibrahim al-Buraikan, Manhaj Ibn Taymiyah fi Taqrir ‘Aqidah al-Tawhid, I/197)

Secara zahir, apa yang kurang dari Abu Thalib untuk mengakui kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW)? Dia telah mempertaruhkan dan mengorbankan banyak hal untuk melindungi Rasul.
Di sisi lain, apa kurangnya seorang Muhammad SAW untuk mengajak pamannya bersyahadat hingga pada detik-detik akhir menjelang ajal?

Masalahnya, Abu Thalib dikelilingi oleh para pemuka kafir Quraisy. Mereka menjelma menjadi lingkungan terdekat yang menjadi hijab bagi sang pembela Nabi terhadap fitrahnya. Padahal, hanya butuh beberapa detik saja untuk mengucap syahadat, kunci kebagiaan abadi.

Karena itulah Ibnu al-Qayyim berkata, ”Betapa sering manusia bergaul dengan orang yang hanya membuat celaka, mengusir nikmat, menurunkan musibah, menghentikan anugerah dan menimbulkan bencana. Bukankah kecelakaan manusia tidak lain adalah karena manusia pula?” (Ibn al-Qayyim, Madarij al-Salikin ila Maqamat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, IX/367).

Intinya, dalam menjaga keselamatan fitrah, seseorang harus berada dalam lingkungan yang relatif terjaga.
5. Dunia ini membutuhkan orang yang mau melakukan perbaikan dengan cara membimbing manusia yang lain, bukan sekadar manusia yang ahli mengeksploitasi kehidupan. Untuk itu, tak cukup sekadar ilmu. Bekal mendasar yang harus dipunyai adalah keselamatan fitrahnya. Tanpa bekal ini perbaikan apapun mustahil terjadi.

Contoh nyata adalah penduduk dunia saat ini. Tingkat pendidikan mayoritas penduduk dunia saat ini jauh dibanding manusia seabad yang lalu. Tetapi kerusakan sosial maupun ekosistem yang ditimbulkan manusia saat ini jauh lebih besar dari pada sebelumnya.

Negara yang dikenal maju ternyata adalah penghisap kekayaan negara lain. Mereka jelas mengesampingkan fitrah persaudaraan dan kebersamaan.

Pada akhirnya, yang masih layak menyandang predikat manusia adalah mereka yang masih selamat fitrah kemanusiaannya. Tepatlah bila Allah Ta’ala menjadikan manusia yang selamat fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Sebab, hanya dialah yang mampu melakukan pemeliharaan dan perbaikan kepada pihak lain, baik sesama manusia maupun lingkungannya. Masalahnya, khalifahkah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar