Dalam diri setiap manusia terdapat fitrah yang menjadi ciri khasnya
dibanding makhluk lain. Fitrah itu berupa dorongan untuk membimbing
dirinya dan sesama manusia agar menapaki jalan hidup yang lurus,
mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa, keinginan untuk mengekspresikan
ketundukan kepada-Nya, serta melakukan segala aktivitas yang tidak
melanggar kehendak-Nya.
Sayangnya, banyak manusia yang membiarkan fitrah itu meredup. Bahkan
sebaliknya, membiarkan sifat zalim tumbuh subur dalam dirinya.
Banyak orang kemudian lupa dengan komitmen penghambaan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan dan selalu memeliharanya.
Komitmen itu hanya terucap di mulut, tidak sampai ke hati, apalagi
terealisasi dalam bentuk amal perbuatan.
Lebih celaka lagi bila kondisi seperti ini melanda orang-orang yang
justru sedang memimpin manusia. Manalah mungkin ia bisa membimbing
manusia yang dipimpinnya sedang ia sendiri tak mampu membimbing dirinya
sendiri. Ia telah membuang jauh-jauh fitrah itu dalam dirinya.
Syaikh Nashir al-Sa’dy berkata, “Sesungguhnya semua hukum syariat,
baik yang zahir maupun yang batin, Allah telah meletakkan kecenderungan
kepadanya dalam hati manusia. Allah menaruh dalam hati mereka
kecenderungan untuk mencintai yang haq dan mengutamakannya. Ini adalah
hakikat dari fitrah. Barang siapa yang keluar dari kondisi yang asal
ini, maka tidak lain karena adanya faktor baru yang merusak fitrah
tersebut.”(al-Sa’dy, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam
al-Mannan, 640)
Urgensi Fitrah Membimbing
Fenomena lupa pada fitrah membimbing manusia pada jalan yang lurus
seperti itu sudah kerap kita temui sekarang. Oleh karena itu, upaya
menghidupkan kembali fitrah ini menjadi hal yang sangat urgen. Mengapa?
Berikut ini beberapa alasannya.
1. Sebagai manusia yang masih selamat fitrahnya, kita harus peduli
dan empati kepada manusia lain yang dasarnya mempunyai fitrah beriman,
tapi sayangnya mereka menjadi korban bujukan setan, baik dari kalangan
jin maupun manusia.
Dalam Hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman, ”Dan Aku menciptakan hamba
Ku semuanya dalam kondisi mengikuti jalan lurus (hunafa’), tetapi
kemudian mereka dibelokkan setan…” (Riwayat Muslim).
Kerusakan akibat kecelakaan fitrah berbeda dengan kerusakan akibat
kecelakaan fisik. Pada kecelakaan fisik, korban hampir pasti tidak
menerima keadaan tersebut dan menuntut pihak yang menjadi penyebabnya.
Sedang korban kerusakan akibat kecelakaan fitrah sebagian besar justru
dengan suka rela dan merasa bangga menjadi pengabdi setan.
Menyadari kondisi tersebut, kita harus terpanggil untuk membantu
mereka. Apalagi bila mereka orang-orang terdekat yang kita cintai.
Misalnya, anak, orang tua, atau saudara.
2. Membuka kembali fitrah yang bermasalah akibat adanya penutup,
menurut Ibn Taymiyyah, adalah misi para Rasul. ”Setelah berbagai noda
yang menutupi itu terbuka kembali maka manusia akan mengetahui apa yang
sebelumnya pernah mereka ketahui.” (Ibrahim al-Buraikan, Manhaj Ibn
Taymiyah fi Taqrir ‘Aqidah al-Tawhid, I/197). Pengetahuan inilah yang
disebut dengan fitrah atau al-‘ilm al-dharuri sebagaimana dikatakan
al-Syaikh Abd al-Salam al-Ahmar.
Konsekuensinya, bagi mereka yang ingin betul-betul menjadi penerus
misi para Nabi, harus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan
Rasulullah dan para Rasul lainnya. Mereka tulus berjuang melakukan
pencerahan atas fitrah-fitrah yang terhijab, membimbing fitrah itu
kembali ke jalan yang lurus.
3. Jika seseorang memang jujur menyayangi diri, keluarga, dan
keturunannya maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan segala upaya
agar fitrah mereka terjaga. Pengetahuan dasar yang tercetak dalam hati
mereka harus tersambung secara sempurna dengan wahyu sebagai pengetahuan
rinci sekaligus penuntun dorongan kebaikan yang berasal dari fitrah
tersebut.
Korelasi ini dinyatakan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ke-17
dari Surat Hud [11]. Menurutnya, ”Yang demikian itu karena sesungguhnya
seorang mukmin memiliki fitrah yang mengakui kebenaran syariat secara
global. Adapun rinciannya, maka diambil dari syariat, sementara
fitrahnya membenarkan dan mengimaninya.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim, IV/312).
4. Selama fitrah masih terhijab, pengetahuan mengenai wahyu hanya
akan berhenti pada akal. Pengetahuan ini tidak efektif menjadi energi
yang menggerakkan. Sebab, ajakan eksternal belum tersambung dengan
dorongan internal untuk berbuat.
Ibnu Taymiyyah menyebutkan enam hal yang dapat menutup fitrah, yaitu
lingkungan, pemikiran sesat, syahwat berkuasa, kesengajaan untuk
berpaling dari fitrah, dosa, dan yang paling berat adalah sengaja
melupakan Allah. (Ibrahim al-Buraikan, Manhaj Ibn Taymiyah fi Taqrir
‘Aqidah al-Tawhid, I/197)
Secara zahir, apa yang kurang dari Abu Thalib untuk mengakui kerasulan
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW)? Dia telah mempertaruhkan
dan mengorbankan banyak hal untuk melindungi Rasul.
Di sisi lain, apa kurangnya seorang Muhammad SAW untuk mengajak pamannya
bersyahadat hingga pada detik-detik akhir menjelang ajal?
Masalahnya, Abu Thalib dikelilingi oleh para pemuka kafir Quraisy.
Mereka menjelma menjadi lingkungan terdekat yang menjadi hijab bagi sang
pembela Nabi terhadap fitrahnya. Padahal, hanya butuh beberapa detik
saja untuk mengucap syahadat, kunci kebagiaan abadi.
Karena itulah Ibnu al-Qayyim berkata, ”Betapa sering manusia bergaul
dengan orang yang hanya membuat celaka, mengusir nikmat, menurunkan
musibah, menghentikan anugerah dan menimbulkan bencana. Bukankah
kecelakaan manusia tidak lain adalah karena manusia pula?” (Ibn
al-Qayyim, Madarij al-Salikin ila Maqamat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka
Nasta’in, IX/367).
Intinya, dalam menjaga keselamatan fitrah, seseorang harus berada dalam lingkungan yang relatif terjaga.
5. Dunia ini membutuhkan orang yang mau melakukan perbaikan dengan cara
membimbing manusia yang lain, bukan sekadar manusia yang ahli
mengeksploitasi kehidupan. Untuk itu, tak cukup sekadar ilmu. Bekal
mendasar yang harus dipunyai adalah keselamatan fitrahnya. Tanpa bekal
ini perbaikan apapun mustahil terjadi.
Contoh nyata adalah penduduk dunia saat ini. Tingkat pendidikan
mayoritas penduduk dunia saat ini jauh dibanding manusia seabad yang
lalu. Tetapi kerusakan sosial maupun ekosistem yang ditimbulkan manusia
saat ini jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Negara yang dikenal maju ternyata adalah penghisap kekayaan negara
lain. Mereka jelas mengesampingkan fitrah persaudaraan dan kebersamaan.
Pada akhirnya, yang masih layak menyandang predikat manusia adalah
mereka yang masih selamat fitrah kemanusiaannya. Tepatlah bila Allah
Ta’ala menjadikan manusia yang selamat fitrahnya sebagai khalifah di
muka bumi. Sebab, hanya dialah yang mampu melakukan pemeliharaan dan
perbaikan kepada pihak lain, baik sesama manusia maupun lingkungannya.
Masalahnya, khalifahkah kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar