Selasa, 15 November 2011

Ketika Dakwah Menembus Jeruji

Berkat kegigihan, kesabaran dan keikhlasan para dai, banyak narapidana yang mendapat hidayah-Nya. Tak sedikit yang mengaku bahwa lapas adalah tempat yang tepat untuk bermuhasabah.

Empat perempuan berjilbab besar berwarna krem itu tampak sibuk mengurus jalannya pengajian di Masjid al-Ikhlas Rumah Tahanan (rutan) Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur awal Maret lalu. Ada yang menyiapkan papan tulis, ada yang melayani belasan warga binaaan (narapidana/tahanan) yang ikut mengaji, ada juga yang sibuk wara-wiri membantu petugas rutan.

Tak disangka, rupanya, keempat perempuan berjilbab besar tersebut juga warga binaan rutan. Mereka berstatus sebagai tahanan pendamping (tamping) yang bertugas membantu para staf rutan. Salah satunya bernama Novie Kartika, Muslimah berusia 28 tahun yang tengah menjalani hukuman 4 tahun kurungan di rutan tersebut.

“Saya sudah satu tahun di sini dan sekarang menjadi tamping,” kata Novie mengawali perbincangan dengan Suara Hidayatullah.

Menurut Novie, pada masa awal ditahan di rutan, ia masih gemar memakai celana pendek. Namun karena ia sering datang ke pengajian, ia menjadi tahu kewajiban menutup aurat secara syar’i. Wawasan dan kesadaran keislamannya pun bertambah.

Kini, Novie tidak hanya menjadi pendengar di pengajian, tetapi ia juga aktif berdakwah mengajar teman-temannya di rutan untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berperilaku baik inilah Novie diangkat menjadi tamping. Ia bertugas membantu staf bimbingan kerja pembinaan di masjid Rutan Wanita Pondok Bambu.

Novie mengaku beruntung dirinya diangkat menjadi tamping. Sebab, dengan menjadi tamping ia bisa keluar dari kamar tahanan dan banyak beraktivitas. Sementara warga binaan lain hanya bisa keluar kamar tahanan jika ada kunjungan saja. “Begitu susahnya, sampai ada cerita tahanan yang bersedia membayar untuk menjadi tamping,” katanya.

Sekarang, setelah mendapat hidayah di rutan, ia malah merasa takut untuk pulang ke rumah setelah bebas nanti. Sebab menurutnya, justru di rutan ia merasa khusyuk beribadah dan mendapat kajian-kajian keislaman. “Apa bisa saya beribadah seperti di sini (setelah bebas nanti),” ujar Novie yang juga seorang single parent dengan satu anak ini.

Pesantren Penjara

Hal senada juga diakui oleh Prasetyawansyah, pria berusia 30 tahun yang menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta. Dengan nyantri di lapas terbesar se-Asia inilah ia mendapatkan berbagai ilmu tentang Islam. Mulai dari akidah, fiqih, wawasan keislaman (tsaqafah islamiyah), tajwid, hingga bahasa Arab.

“Di luar belum tentu dapat belajar seperti ini. Biayanya gratis,” kata pria asal Palembang yang tengah menjalani 14 tahun masa tahanan ini.

Prasetya memang benar-benar santri di Lapas Cipinang. Karena di lapas tersebut memang terdapat sebuah pesantren bernama At-Tawwabin yang didirikan sejak tahun 1996. Lengkap dengan kurikulum dan ujian berkala meski belum mengeluarkan ijazah bagi para lulusannya.

Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lapas Klas I Cipinang, Andi Herry mengatakan, pada dasarnya materi dakwah di lapas sama dengan di luar. Hanya saja, kata Herry, pihaknya menghindari hal-hal yang bersifat provokatif dan mengundang debat.

Herry mengatakan, dari 1.700-an napi di Lapas Cipinang, terdapat sejumlah napi kasus terorisme. Meski para napi kasus terorisme tersebut kerap dinilai eksklusif dan cenderung mendapat stigma anarkis, pihak lapas membiarkan mereka berdakwah. Sebagian terpidana kasus terorisme yang asalnya memang ustadz kini membimbing napi lainnya melalui halaqah-halaqah. “Ternyata mereka mau berinteraksi dan tidak eksklusif,” kata Herry.

Kepada para napi, Herry sering mengingatkan bahwa di lapas adalah tempat yang paling bagus untuk bermuhasabah. Dan, itu pulalah yang dijalani oleh Prasetya. Walau masih berharap mendapat remisi dan bebas secepatnya dari lapas, ia menikmati waktunya di bui. “Bukankah Nabi bersabda, dunia itu penjara bagi orang-orang mukmin,” katanya.

Selain di Cipinang sejumlah lapas dan rutan lainnya di daerah juga sudah membuka pesantren serupa. Seperti di Rutan Klas I Medaeng, Surabaya, Lapas Batu Nusakambangan, Lapas Anak Wanita Tangerang, Lapas Sukamiskin, Bandung, dan masih ada sejumlah lapas dan rutan lainnya. Untuk Pesantren Al-Hidayah di Lapas Sukamiskin bahkan mengeluarkan sertifikat kelulusan bagi santri napi, yang disahkan oleh Kementerian Agama Kota Bandung.

Kepala Lapas Sukamiskin, Dewa Putu Gede, mengakui betapa berjasanya peran dai yang bekerja tanpa pamrih materi dalam membina dan mengajarkan ilmu agama kepada para napi.

”Secara pribadi saya sangat mengapresiasi kerja para juru dakwah tersebut. Meski pihak lapas sendiri mengakui belum bisa memberi imbal balik yang sepadan dengan jerih payahnya selama ini,” ujarnya.
Meski bukan seorang Muslim, namun Dewa sangat mendukung kegiatan kerohanian terutama kegiatan pesantren sebagai wujud pembinaan napi. Dirinya juga percaya jika kegiatan pesantren tersebut sangat membantu dalam mengubah mental spiritual napi jika nantinya telah bebas.

”Semua manusia mempunyai kesalahan apa pun agamanya. Namun, intinya, mau tidak bertaubat dan memperbaiki kesalahan tersebut,” jelasnya.

Dirinya juga melihat dan merasakan perubahan yang sangat mendasar terhadap perilaku napi setelah menjalani kegiatan pesantren. Hal tersebut bisa terlihat dari tingkah laku, sikap sopan santun dan juga cara berpakaian atau penampilan.

Dampak Dakwah

Bagi para napi, peluang untuk kembali berbuat jahat ketika mereka bebas dari lapas sangat besar. Apalagi banyak orang beranggapan mereka yang keluar dari penjara malah akan lebih lihai berbuat kejahatan.
Namun bagi para napi yang tersadarkan oleh dakwah, efek jera yang diharapkan cenderung lebih kuat. Seperti diakui Alwinsyah Sihombing, warga binaan Lapas Batu, Nusakambangan. “Ketika kita bebas, kita tidak lagi dikontrol oleh aparat. Tapi Allah selalu mengawasi kita,” kata Alwin.

Selain jera karena senantia merasa diawasi oleh Allah, para napi yang menerima dakwah juga cenderung lebih tenang, sabar, dan bisa menerima keadaan. Sebab, kata Nuraini, Pembina Lapas Dewasa Wanita Tangerang, banyak dari tahanan yang tertekan atau stress ketika masuk ke dalam tahanan. “Setelah beberapa kali mengaji, mereka lebih pasrah dan menerima,” ujar Nuraini.

Puput adalah salah seorang napi yang merasakan perubahan tersebut. Puput yang mendapat vonis 15 tahun penjara ini mengaku jika kehidupan dalam lapas telah menyadarkan dirinya.

”Sejak kecil saya tidak pernah shalat maupun ibadah lainnya meski saya lahir dari orangtua Muslim. Namun ahamdulillah, berkat bimbingan dan binaan para ustadz di sini saya menjadi sadar, paham kewajiban saya sebagai seorang Muslim dan sekarang berusaha menjadi seorang Muslim yang taat pada ajaran Islam,” aku pemuda yang sudah menjalani 3 tahun masa tahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung tersebut.

Menurut Edi Warsono, Kepala Seksi Registrasi Lapas Batu Nusakambangan, tanpa pembinaan agama dan ruhani proses pemasyarakatan di lapas ataupun di rutan akan pincang. Menurutnya, banyak napi yang terjerat kasus pidana berat berisiko terserang stress.

Tapi setelah menerima dakwah, kata Edi, para napi cenderung lebih tenang. Katanya, hal tersebut juga terlihat pada para napi terpidana mati yang tengah menunggu eksekusi. “Ada 26 terpidana mati di Lapas Batu. Maka kita tanamkan kepada mereka, bahwa mati adalah suatu proses menghadapi kehidupan berikutnya. Bukan akhir dari kehidupan,” tutur Edi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar