Berkat kegigihan, kesabaran dan keikhlasan para dai, banyak narapidana
yang mendapat hidayah-Nya. Tak sedikit yang mengaku bahwa lapas adalah
tempat yang tepat untuk bermuhasabah.
Empat perempuan berjilbab besar berwarna krem itu tampak sibuk
mengurus jalannya pengajian di Masjid al-Ikhlas Rumah Tahanan (rutan)
Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur awal Maret lalu. Ada yang menyiapkan
papan tulis, ada yang melayani belasan warga binaaan
(narapidana/tahanan) yang ikut mengaji, ada juga yang sibuk wara-wiri
membantu petugas rutan.
Tak disangka, rupanya, keempat perempuan berjilbab besar tersebut
juga warga binaan rutan. Mereka berstatus sebagai tahanan pendamping
(tamping) yang bertugas membantu para staf rutan. Salah satunya bernama
Novie Kartika, Muslimah berusia 28 tahun yang tengah menjalani hukuman 4
tahun kurungan di rutan tersebut.
“Saya sudah satu tahun di sini dan sekarang menjadi tamping,” kata Novie mengawali perbincangan dengan Suara Hidayatullah.
Menurut Novie, pada masa awal ditahan di rutan, ia masih gemar
memakai celana pendek. Namun karena ia sering datang ke pengajian, ia
menjadi tahu kewajiban menutup aurat secara syar’i. Wawasan dan
kesadaran keislamannya pun bertambah.
Kini, Novie tidak hanya menjadi pendengar di pengajian, tetapi ia
juga aktif berdakwah mengajar teman-temannya di rutan untuk kembali
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berperilaku baik inilah Novie
diangkat menjadi tamping. Ia bertugas membantu staf bimbingan kerja
pembinaan di masjid Rutan Wanita Pondok Bambu.
Novie mengaku beruntung dirinya diangkat menjadi tamping. Sebab,
dengan menjadi tamping ia bisa keluar dari kamar tahanan dan banyak
beraktivitas. Sementara warga binaan lain hanya bisa keluar kamar
tahanan jika ada kunjungan saja. “Begitu susahnya, sampai ada cerita
tahanan yang bersedia membayar untuk menjadi tamping,” katanya.
Sekarang, setelah mendapat hidayah di rutan, ia malah merasa takut
untuk pulang ke rumah setelah bebas nanti. Sebab menurutnya, justru di
rutan ia merasa khusyuk beribadah dan mendapat kajian-kajian keislaman.
“Apa bisa saya beribadah seperti di sini (setelah bebas nanti),” ujar
Novie yang juga seorang single parent dengan satu anak ini.
Pesantren Penjara
Hal senada juga diakui oleh Prasetyawansyah, pria berusia 30 tahun yang
menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta.
Dengan nyantri di lapas terbesar se-Asia inilah ia mendapatkan berbagai
ilmu tentang Islam. Mulai dari akidah, fiqih, wawasan keislaman
(tsaqafah islamiyah), tajwid, hingga bahasa Arab.
“Di luar belum tentu dapat belajar seperti ini. Biayanya gratis,”
kata pria asal Palembang yang tengah menjalani 14 tahun masa tahanan
ini.
Prasetya memang benar-benar santri di Lapas Cipinang. Karena di lapas
tersebut memang terdapat sebuah pesantren bernama At-Tawwabin yang
didirikan sejak tahun 1996. Lengkap dengan kurikulum dan ujian berkala
meski belum mengeluarkan ijazah bagi para lulusannya.
Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lapas Klas I Cipinang, Andi
Herry mengatakan, pada dasarnya materi dakwah di lapas sama dengan di
luar. Hanya saja, kata Herry, pihaknya menghindari hal-hal yang bersifat
provokatif dan mengundang debat.
Herry mengatakan, dari 1.700-an napi di Lapas Cipinang, terdapat
sejumlah napi kasus terorisme. Meski para napi kasus terorisme tersebut
kerap dinilai eksklusif dan cenderung mendapat stigma anarkis, pihak
lapas membiarkan mereka berdakwah. Sebagian terpidana kasus terorisme
yang asalnya memang ustadz kini membimbing napi lainnya melalui
halaqah-halaqah. “Ternyata mereka mau berinteraksi dan tidak
eksklusif,” kata Herry.
Kepada para napi, Herry sering mengingatkan bahwa di lapas adalah
tempat yang paling bagus untuk bermuhasabah. Dan, itu pulalah yang
dijalani oleh Prasetya. Walau masih berharap mendapat remisi dan bebas
secepatnya dari lapas, ia menikmati waktunya di bui. “Bukankah Nabi
bersabda, dunia itu penjara bagi orang-orang mukmin,” katanya.
Selain di Cipinang sejumlah lapas dan rutan lainnya di daerah juga
sudah membuka pesantren serupa. Seperti di Rutan Klas I Medaeng,
Surabaya, Lapas Batu Nusakambangan, Lapas Anak Wanita Tangerang, Lapas
Sukamiskin, Bandung, dan masih ada sejumlah lapas dan rutan lainnya.
Untuk Pesantren Al-Hidayah di Lapas Sukamiskin bahkan mengeluarkan
sertifikat kelulusan bagi santri napi, yang disahkan oleh Kementerian
Agama Kota Bandung.
Kepala Lapas Sukamiskin, Dewa Putu Gede, mengakui betapa berjasanya
peran dai yang bekerja tanpa pamrih materi dalam membina dan mengajarkan
ilmu agama kepada para napi.
”Secara pribadi saya sangat mengapresiasi kerja para juru dakwah
tersebut. Meski pihak lapas sendiri mengakui belum bisa memberi imbal
balik yang sepadan dengan jerih payahnya selama ini,” ujarnya.
Meski bukan seorang Muslim, namun Dewa sangat mendukung kegiatan
kerohanian terutama kegiatan pesantren sebagai wujud pembinaan napi.
Dirinya juga percaya jika kegiatan pesantren tersebut sangat membantu
dalam mengubah mental spiritual napi jika nantinya telah bebas.
”Semua manusia mempunyai kesalahan apa pun agamanya. Namun, intinya,
mau tidak bertaubat dan memperbaiki kesalahan tersebut,” jelasnya.
Dirinya juga melihat dan merasakan perubahan yang sangat mendasar
terhadap perilaku napi setelah menjalani kegiatan pesantren. Hal
tersebut bisa terlihat dari tingkah laku, sikap sopan santun dan juga
cara berpakaian atau penampilan.
Dampak Dakwah
Bagi para napi, peluang untuk kembali berbuat jahat ketika mereka bebas
dari lapas sangat besar. Apalagi banyak orang beranggapan mereka yang
keluar dari penjara malah akan lebih lihai berbuat kejahatan.
Namun bagi para napi yang tersadarkan oleh dakwah, efek jera yang
diharapkan cenderung lebih kuat. Seperti diakui Alwinsyah Sihombing,
warga binaan Lapas Batu, Nusakambangan. “Ketika kita bebas, kita tidak
lagi dikontrol oleh aparat. Tapi Allah selalu mengawasi kita,” kata
Alwin.
Selain jera karena senantia merasa diawasi oleh Allah, para napi yang
menerima dakwah juga cenderung lebih tenang, sabar, dan bisa menerima
keadaan. Sebab, kata Nuraini, Pembina Lapas Dewasa Wanita Tangerang,
banyak dari tahanan yang tertekan atau stress ketika masuk ke dalam
tahanan. “Setelah beberapa kali mengaji, mereka lebih pasrah dan
menerima,” ujar Nuraini.
Puput adalah salah seorang napi yang merasakan perubahan tersebut.
Puput yang mendapat vonis 15 tahun penjara ini mengaku jika kehidupan
dalam lapas telah menyadarkan dirinya.
”Sejak kecil saya tidak pernah shalat maupun ibadah lainnya meski
saya lahir dari orangtua Muslim. Namun ahamdulillah, berkat bimbingan
dan binaan para ustadz di sini saya menjadi sadar, paham kewajiban saya
sebagai seorang Muslim dan sekarang berusaha menjadi seorang Muslim yang
taat pada ajaran Islam,” aku pemuda yang sudah menjalani 3 tahun masa
tahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung tersebut.
Menurut Edi Warsono, Kepala Seksi Registrasi Lapas Batu
Nusakambangan, tanpa pembinaan agama dan ruhani proses pemasyarakatan di
lapas ataupun di rutan akan pincang. Menurutnya, banyak napi yang
terjerat kasus pidana berat berisiko terserang stress.
Tapi setelah menerima dakwah, kata Edi, para napi cenderung lebih
tenang. Katanya, hal tersebut juga terlihat pada para napi terpidana
mati yang tengah menunggu eksekusi. “Ada 26 terpidana mati di Lapas
Batu. Maka kita tanamkan kepada mereka, bahwa mati adalah suatu proses
menghadapi kehidupan berikutnya. Bukan akhir dari kehidupan,” tutur Edi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar