اِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين
“Sungguh engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash [28]: 56)
Muqaddimah
Sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa kematian Abu Thalib bin Abdul Muththalib pada tahun ke-10 masa kenabian di Makkah. Dalam kitab Tafsir at-Thabari diceritakan, ketika itu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terpukul dan bersedih hati. Di hadapan Nabi, Abu Thalib yang juga saudara ayahnya, Abdullah bin Abdul Muththalib, harus meninggal dunia tanpa mampu mengucapkan kalimat tauhid, sebuah kalimat persaksian akan keesaan Allah Ta’ala.
Kesedihan Nabi itu bisa dipahami, karena selama ini sang pamanlah yang banyak memberi dukungan atas perjuangan Nabi pada awal masa keislaman di kota Makkah. Tak hanya sokongan materi, namun yang paling terasa adalah berkali-kali Abu Thalib menjadi “tameng” atas diri Nabi dalam menghadapi makar jahat para tokoh kafir Quraisy Makkah masa itu.
Makna Ayat
Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang modal dasar dalam melakukan suatu perbuatan dalam kehidupan ini. Tidak lain modal dasar itu bernama keimanan. Keimanan adalah harga mati yang harus ada ketika seseorang ingin hidup bahagia di dunia terlebih di akhirat nanti. Keimanan tidak bisa ditawar dengan suatu apa pun juga, meski ia datang dengan setumpuk kebaikan pada orang lain.
Apa yang terjadi pada diri Abu Thalib adalah potret nyata ending suatu perbuatan yang dibungkus tanpa menyertakan keimanan. Ketika Abu Thalib berbuat baik pada kaum Muslimin tanpa didasari dengan kalimat tauhid, maka kebaikannya hanya melekat seumur ia hidup di dunia saja. Tanpa bisa menolong dirinya pada Yaum al- Hisab (Hari Pembalasan) nanti. Kebaikan Abu Thalib hanya bisa dikenang sebagai perbuatan baik di mata manusia, bukan sebagai amalan saleh di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Indikasi keberhasilan suatu perbuatan tidaklah diukur dengan banyaknya pujian yang mengalir. Ia tidak didasarkan pada riuh rendah tepukan tangan. Namun, standar keberhasilan amalan seseorang semata berdasar pada keikhlasan ia berbuat, sebagai buah dari keimanan dalam dirinya. Keimanan itu pula yang menjadikan amalannya senantiasa mengikuti contoh yang telah dilakonkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya terdahulu.
Ahsanu Amalan
Abdurrahman as-Sa’di dalam kitabnya, Tafsir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan mengomentari “ahsanu amalan” (amalan yang terbaik) dengan berkata, “Amalan yang dimaksud adalah perbuatan yang didasari keimanan dan paling ikhlas serta paling benar (sebagaimana dicontohkan) perilaku Nabi dan para Sahabat.”
Bagi seorang yang mengaku aktivis dakwah, hal ini -ahsanu amalan- mutlak dimiliki dan terus dipertahankan. Sebab, Allah Ta’ala ingin melihat mujahadah dan kerja keras seorang hamba-Nya. Seorang juru dakwah dituntut untuk terus berkreasi dalam memperjuangkan dakwah dan bersungguh-sungguh menyebarkan kebaikan kepada orang lain. Namun, Allah tak pernah meminta dan menentukan hasil yang harus dicapai dalam dakwah tersebut.
Kesedihan yang melanda pada diri Rasulullah adalah hal yang sangat wajar. Namun rupanya Allah tidak ingin Nabi lalu kecewa karena usahanya yang “tidak berhasil” mengislamkan pamannya. Mutiara ibrah ini mengajarkan kepada kita semua, seorang mukmin yang telah menyandarkan perbuatannya secara ikhlas kepada Allah. Bersungguh-sungguh dalam berbuat adalah bentuk tawakkal yang sesungguhnya. Maka sosok mukmin seperti itu tak pantas untuk kecewa dan berkecil hati. Sebab curahan hidayah adalah hak mutlak Allah, tanpa ada campur tangan hamba di sana.
Keikhlasan dalam melakukan pekerjaan senantiasa melahirkan kejernihan hati dan pikiran serta dada yang lapang. Kelapangan hati ini menjadi hiasan yang sangat indah dalam perbuatan. Meski ia harus bergulat dengan segala tantangan yang ada. Meski terkadang usaha tersebut tidak sepi dari cemoohan dan suara-suara yang antipati dan tidak setuju.
Hak Allah
Dalam ajaran Islam, hidayah terbagi dua macam.
Pertama, hidayah ad-dilalah. Hal ini diperuntukkan bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Dengannya mereka lalu mendapatkan pemahaman dan pencerahan akan suatu kebaikan.
Kedua, hidayah at-taufiq. Jenis hidayah ini berupa hidayah untuk memberi petunjuk. Ia mutlak dikuasai oleh Allah tanpa ada campur tangan manusia sedikit pun di dalamnya. Tidak oleh para Nabi dan Rasul sekalipun atau para malaikat sebagai makhluk-Nya yang terdekat.
Kisah tragis yang menimpa Abu Thalib saat kematiannya juga menyisakan pesan tersirat akan hakikat kehidupan dunia. Suatu kehidupan yang tidak pernah menyisakan kata henti untuk pertarungan abadi, antara al-haq (kebenaran) melawan al-bathil (kemungkaran).
Imam at-Thabari menceritakan dalam tafsirnya, ketika Abu Thalib sedang dalam kondisi sakarat menjemput kematiannya, Nabi masuk menemui Abu Thalib di pembaringan. Rupanya di sisi pembaringan Abu Thalib telah menunggu Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah, perwakilan tokoh Kafir Quraisy.
Dengan penuh kesabaran, Nabi lalu berupaya membujuk dan menuntun pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun usaha tersebut langsung disergah oleh Abu Jahl seraya berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau rela meninggalkan agama nenek moyang kita yang telah turun temurun diyakini oleh kita semua?”
Alhasil –qaddarallahu- Abu Thalib meninggal dunia tanpa sempat mengucapkan syahadat. Sebuah pukulan telak bagi Nabi yang berusaha menyelamatkan pamannya saat itu.
Sungguh suatu pertarungan aqidah yang sangat dahsyat. Pergumulan sejati yang menjadi simbol kehidupan manusia. Setiap ada upaya kebaikan, niscaya ada-ada saja orang yang tidak senang akan perbuatan itu. Halangan dalam menegakkan dakwah dan agama menjadi sebuah keniscayaan dalam perjuangan ini. Orang yang ingin menyebarkan kebaikan berarti telah siap menghadapi tantangan. Namun, seorang dai tidak akan mundur dengan aral yang melintang tersebut, sebab ia telah sadar seperti itulah risiko di dalam menyebarkan dakwah dan agama ini.
Yang dibutuhkan hanyalah kesabaran serta kemampuan mengatasi masalah tersebut. Sedang kesabaran itu berbanding lurus dengan bobot keikhlasan seseorang kepada Allah Ta’ala. Semakin seseorang ikhlas semakin ia merasakan kekuatan dari kesabarannya. Sebaliknya ketika modal keikhlasan itu mulai terkikis, dengan sendirinya ia sibuk berkeluh kesah. Alih-alih berpikir menyelesaikan masalah, ia malah mulai menyalahkan orang lain. Menuding kesana-kemari sambil mencari siapa lagi yang bisa dikambing hitamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar