H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Sulitkah untuk tersenyum? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung
kondisi, kata salah seorang teman yang saya berikan pertanyaan tersebut.
Benarkah?
Dalam sebuah kesempatan perjalanan ke beberapa tempat,
saya berkesempatan ditemani oleh seorang ibu, dengan dua putrinya yang
masih kecil-kecil. Yang satu berumur sekitar 4 tahun, yang satunya lagi
berumur 5-6 tahun. Beda sedikit memang. Awalnya saya malah menyangka
mereka kembar. Dua putri yang lucu dan cantik, serta pintar. Beberapa
kali saya sempat mendengarkan lantunan hafalan Qur’an surat-surat pendek
dari kedua putri tersebut. Bukan hanya itu yang menjadi pusat perhatian
saya, ternyata mereka pun sangat aktif. Berlarian ke sana kemari
berkejaran dengan kakaknya, di sebuah taman yang cukup luas. Celoteh
mereka nyaris tak pernah berhenti, seolah tidak ada capainya.
Sang
ibu dengan selalu tersenyum melayani pertanyaan-pertanyaan kedua
putrinya, dengan penuh kasih sayang menemani dan mengiringi langkah
mereka. Ya, dengan senyum penuh kehangatan. Bukan satu dua jam saya
bersama mereka, tapi lebih dari setengah hari, dari siang sampai malam
menjelang. Dan sepanjang waktu tersebut, senyum hangatnya terhadap
anak-anaknya tak pernah berkurang intensitasnya. Padahal saya yakin, ibu
tadi juga capai, sebagaimana saya merasakan capai karena seharian
dengan berbagai aktivitas.
Hal lain yang membuat secara diam-diam
saya mengagumi mereka, ketika malam hari suami ibu tersebut datang
menjemput mereka, saya pun melihat rona wajah yang sama seperti yang
saya dapatkan pada istrinya, yakni wajah yang penuh dengan senyuman.
Meski baru pertama kali bertemu mereka, tapi saya yakin, bahwa senyum
mereka, bukan senyum yang dibuat-buat, karena sedang bersama orang lain,
saya yakin mereka sekeluarga adalah orang2 yang murah senyum.
Saya
bersyukur dipertemukan Allah dengan mereka. Mereka telah menjadi guru.
Dengan sikapnya, saya belajar untuk lebih memaknai senyum. Belajar untuk
lebih menghayati makna hadits: “Tabbatsummuka fie wajhi akhiika laka shadaqah”.
Senyummu untuk saudaramu, adalah sedekahmu. Sebagaimana sedekah dalam
bentuk harta selalu menghadirkan kebahagiaan bagi para penerimanya, maka
senyum pun menghadirkan kebahagiaan, keakraban, dan kasih sayang bagi
sekelilingnya. Sedekah harta, menjadi salah satu bukti benarnya keimanan
seseorang, maka demikian juga dengan ‘senyuman’.
Orang mukmin
akan berusaha untuk membahagiakan sekelilingnya dengan senyum yang
tulus. Ibu yang beriman akan berusaha tersenyum tulus dalam aktivitasnya
merawat dan mendidik anak. Suami yang beriman akan berusaha tersenyum
kepada istri yang telah dengan tulus menemani hari-harinya mengarungi
biduk rumah tangga. Istri yang beriman akan berusaha tersenyum kepada
suaminya, yang telah membimbing dan menyayangi sepenuh jiwa. Seorang
anak yang beriman akan berusaha untuk tersenyum, kepada orang tuanya,
yang telah merawat dan mendidiknya dengan tanpa pamrih. Tetangga yang
beriman, akan berusaha untuk tersenyum tulus kepada tetangganya, tanpa
tetangga, sulit rasanya kita bisa hidup dengan baik.
Begitulah.
Setiap kita, sebagai apapun kita, dengan senyum, akan bisa menebar
kebahagiaan bagi orang lain. Dan karena kebaikan yang kita lakukan
hakikatnya adalah juga untuk kita sendiri (“man amila shaalihan falinafsih”), maka ketika kita tersenyum, juga akan membawa kebahagiaan buat diri sendiri.
Kembali
pada pertanyaan di awal tulisan, sulitkah atau mudahkah untuk
tersenyum? Meski nyaris tanpa modal harta (beda dengan sedekah harta),
tersenyum kadang sulit sekali untuk dilakukan seseorang, dengan berbagai
alasan. Mungkin karena sedang marah/sebal sama seseorang. Karena sedang
diburu dengan banyaknya pekerjaan yang menegangkan. Karena sedang
mengalami sakit secara fisik. Karena sedang banyak yang dipikirkan.
Karena sedang menghadapi berbagai masalah/musibah. Dan Mungkin masih
banyak alasan lain yang sering menjadi alasan kita tidak mau tersenyum.
Tapi,
pernahkah kita berpikir, dan kemudian mencoba, meski terasa sulit,
cobalah menghadapi semua kondisi tersebut dengan tersenyum. Dan Janji
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah diingkari. Kalau sedekah harta minimal
akan dibalas dengan 10 kali lipat dan bisa berlipat-lipat, maka saya pun
yakin bahwa dengan senyum , solusi dan jalan keluar untuk semua masalah
tersebut pasti akan diringankan oleh Allah swt, mungkin 10 kali lipat
lebih ringan, bahkan berkali-kali lipat. Karena kita menghadapinya
dengan kelapangan, efek dari senyum yang kita praktekkan.
Orang
yang berkurang/turun keimanannya, akan sulit untuk memberikan sedekah
hartanya, maka demikian juga dengan senyum. Akan terasa berat, saat
seseorang sedang down keimanannya. Maka, salah satu cara untuk bisa
menjadi orang yang murah senyum, selain melatih diri secara fisik,
cobalah untuk selalu menjaga keimanan kita. Saat iman terjaga, insya
Allah, tersenyum akan menjadi mudah, apapun yang kita hadapi. Meski
boleh jadi secara fisik terasa sakit, perasaan terasa berat, tapi iman
mampu mengalahkan itu semua.
Barangkali inilah rahasianya, kenapa
setiap kali kita melihat foto/gambar jenazah para mujahid/mujahidah
Palestina, dan mujahid-mujahidah yang lain, wajah mereka selalu
tersenyum. Mereka bahagia, dengan kebahagiaan yang dijanjikan Allah
telah mereka saksikan, meski raga nya secara kasat mata menanggung
sakit. Allah Maha Besar. Allahamanshur ikhawanal mujaahidiina fie kulli makaan wa fie kulli zaman. Sebagai
penutup, barangkali bisa membantu Anda yang saat ini sedang sulit untuk
tersenyum, nggak ada salahnya, kalau coba memutar kembali nasyid Raihan
yang berjudul “Senyumlah”. Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar