H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
“Alif, laam, raa. Ini
adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami
mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan;
kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku,
janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka
mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Dan demikianlah Tuhanmu, memilih
kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari
ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada
keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada
dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf; 1-6)
Kisah
Nabi Yusuf AS diabadikan Allah dalam satu surat khusus dalam Al-Qur’an
yang juga bernama Surat Yusuf. Kisah ini merupakan kisah terbaik dalam
Al-Qur’an. Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah terpanjang di Qur’an yang
diceritakan secara berurutan dan dalam satu surat penuh. Ceritanya
sangat manusiawi, artinya sangat mungkin terjadi di kehidupan saat ini
dan bisa menjadi teladan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Kisah
ini berujung pada akhir yang bahagia dan dari sana kita dapat mengambil
nilai penting yaitu bahwa setiap perubahan tidak selalu harus melalui
cara peperangan. Perubahan bisa dilakukan dengan mengubah suatu sistem
dari dalam. Itulah alasan-alasan mengapa kisah ini menjadi kisah
terbaik.
Sebuah kisah yang memberikan banyak nilai bagi kita
terutama untuk menjadi pedoman dalam melakukan perubahan. Kita bisa
mengambil kata kunci dari kisah ini bahwa ketika kita hendak mengubah
suatu sistem dari dalam maka kita harus memiliki kredibilitas kepada
penguasa saat itu dengan cara meningkatkan kapabilitas dan kapasitas
intelektual dan moral. Mudahnya, kita harus menjadi tangan kanan
penguasa. Bukan tunduk kepadanya tetapi kita tunjukkan bahwa diri kita
pantas untuk menjadi seorang pemimpin yang adil.
Prinsip dalam
mengubah sistem dari dalam ialah kita harus memiliki perencanaan jangka
panjang yang jelas. Pada dasarnya reformasi dilakukan tidak serta merta
seperti revolusi. Ia membutuhkan periode waktu yang bisa jadi melibatkan
banyak generasi. Oleh karena itu diperlukan adanya mentor agar proses
pewarisan antar generasi berjalan dengan baik. Rencana jangka panjang
itu hendaknya disusun secara detail sesuai timeline. Rencana tersebutlah yang menjadi bingkai kita dalam menjalani proses reformasi.
Ketika
kita hendak melakukan perubahan dari dalam maka kita harus
mempersiapkan pula orang-orang yang terbaik. Bukan hanya terbaik, tapi
terbaik dari yang terbaik. Hal ini penting mengingat perubahan ini
dilakukan dalam jangka panjang dan melibatkan banyak orang sehingga
dalam proses pewarisannya harus benar-benar murni secara prinsip dan
pemahaman agar antar generasi tidak saling miss dan alur perubahan itu tetap terjaga.
Sosok
yang dibentuk ini juga memiliki jiwa petarung yang handal. Ia harus
mampu menangkal segala perlawanan dari pihak-pihak yang memusuhinya.
Wajar saja, karena setiap orang yang hendak membawa perubahan dalam
suatu sistem pada awalnya pasti akan mendapat perlawanan dari pihak
oposisi. Seperti pada kisah Yusuf AS beliau adalah seorang keturunan
Nabi. Ayahnya, kakeknya, buyutnya pun seorang Nabi. Ia oleh Allah telah
dirancang untuk membawa perubahan bagi Bani Israil. Namun, bagi ke
sebelas saudaranya Yusuf dianggap mengancam eksistensi mereka di hadapan
ayahnya. Oleh karenanya mereka hendak menyingkirkan Yusuf dari dunia
persilatan. Yusuf pun dibuang ke dasar sumur dan ia ditemukan oleh
pedagang yang melewati sumur itu. Di sini Yusuf mengalami sebuah
tantangan besar. Ia dimusuhi oleh saudara-saudaranya sendiri. Bahkan
ketika itu ia masih kecil, masih belum paham apa-apa.
Kemudian
Yusuf menjadi barang dagangan yang ujungnya, ia dibeli oleh seorang
raja. Yusuf pun tumbuh dewasa, ia menjadi pemuda yang sangat tampan.
Sampai suatu ketika ia difitnah oleh istri raja dan dijebloskan ke
penjara. Inilah bentuk penempaan baru bagi seorang agent of change. Ia
akan mengalami pergulatan dengan berbagai kenyataan sosial dan politik
yang berat, kompleks, kompetitif, dan penuh konflik. Yusuf difitnah,
padahal istri rajalah yang menggodanya. Ia masuk penjara yang kemudian
di sanalah justru titik kebangkitan itu muncul. Ia bertemu dua orang
yang bermimpi aneh. Kemudian Yusuf menerangkan kepada mereka arti mimpi
itu dengan mengambil janji bahwa ketika mereka telah keluar nanti mereka
akan memberitahu raja bahwa dirinya tidak bersalah. Setelah sekian lama
Yusuf menunggu akhirnya ia dibebaskan karena informasi dari salah satu
orang tadi yang memberitahu raja bahwa Yusuf mampu menakwilkan mimpi
sang raja. Dan inilah sikap Yusuf. Ia tidak serta merta menerima putusan
raja. Ia ingin memastikan bahwa dirinya tidak bersalah dengan meminta
pada raja untuk mengumumkan kebenaran tentang fitnah yang menimpanya. Ia
ingin kebenaran itu terungkap sejelas-jelasnya. Maka raja pun
melakukannya. Nah, inilah semestinya sikap dari seorang pembawa
perubahan. Ketika ia dijatuhkan, ia tidak menyerah. Ia tidak menerima
begitu saja keputusan dari penguasa, tetapi ia harus mengklarifikasi
dahulu tentang masalahnya. Ia memastikan dahulu bahwa namanya telah
bersih dari tuduhan-tuduhan dan fitnah.
Sebagai seorang pemuda,
hendaknya kita tetap menjadi kaum yang idealis, di manapun. Ketika kita
berinteraksi dengan birokrasi maka semestinya memiliki mental untuk
mengubah kondisi di dalamnya. Maka ujian terbesar kaum reformis adalah
harta, tahta, wanita. Kalau saja Yusuf tergoda dengan istri raja, maka
berakhirlah kisah indah itu. Jika Yusuf begitu saja menerima pembebasan
dan permintaan Raja untuk menakwilkan mimpi, maka selesailah tugas
mulianya. Kita harus meneladani sikap-sikap tersebut. Dalam mengatasi
ujian-ujian itu hendaknya kita memperkuat rasa takut kita pada Allah,
meningkatkan sikap amanah dan tanggungjawab terhadap segala aktivitas
kita, dan sadar akan resiko dari setiap keputusan kita. Selain itu, kita
harus memelihara konsistensi sikap dan misi perjuangan ini dalam
kondisi apapun.
Jangan takut untuk mempertahankan objektivitas dan
kebenaran. Kebenaran menjadi satu-satunya posisi tawar kita dengan
kekuasaan. Tujuan masuknya kita ke sistem bukan untuk ‘menjual’
kebenaran kepada penguasa, tapi untuk mengungkapkan kebenaran dengan
sebenar-benarnya…
“Berani karena benar, takut karena salah…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar