H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Metro Mini jurusan Pasar Minggu-Manggarai perlahan mulai berjalan,
kepulan asap bensinnya membuat kendaraan di belakangnya terganggu,
apalagi di siang hari seperti ini, membuat suasana tambah tidak
bersahabat, hanya selang beberapa menit metro ini langsung penuh dengan
penumpang, aku sendiri sengaja mengambil posisi dekat kaca sembari
mengamati pemandangan yang di lewati kendaraan ini, ketika memasuki
daerah Tebet, ada sesuatu yang menarik perhatian ku, ya.. sebuah jargon
yang tertulis di baliho besar bertuliskan: “Wanita Indonesia sehat,
cerdas, dan mandiri.” Kata- kata “cerdas” mengingatkan ku pada suatu
peristiwa besar bagi umat Islam yang terjadi di Mesir pada tahun 1250 M,
di mana kecerdasan seorang wanita pada peristiwa tersebut mampu
mengukir sejarah peradaban dengan tinta emas.
Pikiranku melayang
mengingat-ingat kembali peristiwa perang salib yang ke-7, ketika kaum
salibis di bawah komando Luwis 19 berhasil memasuki Mesir, kaum muslimin
kehilangan sultan mereka, sultan Shaleh Al Ayubi kembali ke pangkuan
Rabbnya setelah berhasil merebut Al Quds beberapa tahun yang silam, ia
hanya ditemani oleh sang istri. Sebagaimana wanita lainnya, istri sultan
Shaleh dirundung kesedihan dan kehilangan, tapi kecintaannya pada Allah
dan agama Nya membuat ia bangkit, “kematian sultan di saat peperangan
akan mempengaruhi mental para prajurit.” Begitu pikirnya. Maka ia pun
menyembunyikan berita kematian suaminya dari kaum muslimin, dengan sigap
ia mengurus jenazah suaminya seorang diri, setelah selesai mengkafani
sang istri memasukkan jenazah suaminya ke sebuah peti dan mengirimnya ke
salah satu area pemakaman di Kairo. Ia mengabarkan kepada prajurit
bahwa sultan sedang sakit dan ia sendiri yang mengomando para prajurit
atas nama suaminya. Janji Allah pun datang, kemenangan diraih oleh umat
muslim, mereka menyambutnya dengan gagap gempita. Selain itu mereka
berhasil menawan Luwis 19, sebagai tebusannya ia menyerahkan Dimyath ke
tangan umat Islam dan membayar uang tebusan dengan harga yang sangat
tinggi, serta berjanji untuk tidak memasuki wilayah umat muslim lagi.
Inilah
kecerdasan primer seorang wanita, tidak hanya kecerdasan intelektual
melainkan apa yang sering disebut smart emotion, ketika nalar dan akal
sehat lebih diutamakan dari perasaan dan ego sesaat, karena wanita
adalah tiang bangsa, jika yang diandalkan hanya kecerdasan intelektual
maka bisa dipastikan bangsa ini akan maju dan mempunyai segalanya, tapi
tidak mempunyai ruh.
Wanita cerdas selalu ada di balik kejayaan
suatu bangsa, jika di zaman Rasulullah saw ada Asma binti Yazid, seorang
shahabiyah cerdas ahli argumen yang mendapat julukan “juru bicara
wanita”, dan pada abad pertengahan umat muslim mempunyai istri Shaleh Al
Ayubi, maka Indonesia pun pada tahun 1873 mempunyai wanita cerdas
bernama Cut Nyak Dien, seorang pejuang nasional yang dijuluki “sang
pejuang perempuan”. Tapi itu dulu, dan zaman telah berganti, lalu hari
ini siapakah wanita cerdas itu?
Matahari mulai condong ke ufuk
barat ketika bis mulai merayap menyusuri jalanan ibu kota, seperti
keberangkatanku tadi siang, sore ini pun penumpang berjejal-jejal di
dalam bis yang ku naiki, dan seperti biasa aku mengambil tempat
terfavorit, di samping kaca. Lagi-lagi baliho besar itu memancingku
untuk kembali memandanginya, sembari tersenyum aku pun bergumam, “yah,
wanita cerdas impian bangsa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar