H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Dalam berinteraksi
dengan sesama, bukan tidak mungkin atau mungkin sering terjadi yang
namanya salah paham, sehingga terjadi prasangka buruk, penilaian
negatif, bahkan mungkin sampai terlontar ucapan yang tidak seharusnya.
Dalam kehidupan sosial, suasana atau peristiwa seperti itu sudah
pasti pernah dialami oleh siapapun. Oleh karena itu, sangat penting bagi
setiap Muslim untuk memahami bagaimana cara terbaik menghadapi situasi
semacam itu. Apalagi, tatkala kesalahan tidak kita lakukan, tapi
anggapan buruk atau mungkin hujatan menimpa diri dan keluarga kita.
Rasional manusia tentu akan mendorong untuk melakukan pembelaan atau
bahkan mungkin perlawanan. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya berada
pada posisi yang benar, tetapi kemudian ada pihak yang memfitnah atau
mungkin menyalahkan dan mencacinya.
Apabila hal itu terjadi, maka percekcokan, pertengkaran, bahkan mungkin pemusuhan dan perkelahian tak bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, sebagai utusan Allah, manusia paripurna Rasulullah
telah memberikan panduang praktis dan efektif untuk mengatasi problem
perpecahan seperti itu, yakni dengan gemar memberikan maaf kepada
siapapun yang telah merugikan atau bahkan sangat membencinya.
Kedholiman yang diterima Nabi
Alkisah, tidak lama setelah kerasulannya, Nabi Muhammad
mengajak kaum Quraisy untuk memeluk agama tauhid (Islam). Anehnya, bukan
disambut, beliau justru mendapat perlakuan buruk. Ada yang menuduhnya
gila, tukang sihir, dan pemecah belah keluarga.
Karena begitu bencinya kepada Nabi, ada seorang kafir Quraisy yang
setiap hari kerjanya hanya menanti Nabi di pinggir jalan. Ketika sosok
manusia mulia itu lewat dihadapannya, seketika kafir Quraisy itu
meludahi Nabi yang sangat dimuliakan Allah itu. Kejadian seperti itu
bukan sekali dua kali, tetapi hampir setiap hari.
Tetapi, apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Beliau tidak bergeming
dan tidak terjebak emosinya. Beliau tetap tenang dan tidak menyisakan
secuil kebencian apalagi dendam di dalam hatinya.
Waktu pun bergulir, pada suatu waktu sang peludah tidak meludahi
beliau. Setelah mendengar kabar bahwa tukang ludah itu sakit, seketika
Nabi Muhammad menemui orang kafir itu. Sang peludah pun terkejut dengan
kedatangan Nabi.
“Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi,
justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan menitikan air
mata haru bahagia, tukang ludah itu bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa
engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”
Nabi
menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang
kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi
melakukannya”.
Mendengar ucapan bijak dari beliau, tukang ludah itu pun menangis
dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Kemudian
berujar, “Wahai Muhammad mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti
agamamu”. Tukang ludah itu pun mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Kemuliaan Memaafkan
Begitulah sosok Nabi Muhammad. Kedhaliman yang ditimpakan orang
kepadanya, tak membuatnya gelap mata untuk membalas apalagi menyerang
dengan kekuatan yang lebih besar. Beliau justru tenang dan tak sedikit
pun enggan, apalagi keberatan untuk memberikan maaf.
Dan, seperti kita ketahui bersama, betapa sifat memaafkan itu sangat
mulia dan efektif untuk mengajak orang lain merasakan keindahan ajaran
Islam. bukti telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Lantas, adakah pilihan terbaik selain meneladani kebijaksanaan
Rasulullah dengan mudah memaafkan? Sedangkan pada sikap gemar memaafkan
Allah tidak beri balasan melainkan kemuliaan di sisi-Nya.
إِن تُبْدُواْ خَيْراً أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُواْ عَن سُوَءٍ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً قَدِيراً
“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau
memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Kuasa.” (QS: an Nisa’ [4]: 149).
Terkait dengan ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya mengutip
sebuah hadits. “Tidak berkurang harta disebabkan bershodaqoh dan
tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan pemaafannya
kecuali kemuliaan. Dan barang siapa merendahkan diri kepada Allah,
niscaya Allah mengangkatnya”.
Anjuran Untuk Memaafkan
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang
didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya,
apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak
melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi
telagaku (di akhirat)." (HR Al-Hakim).
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan.” (HR Ath-Thabrani).
“Barangsiapa senang melihat bangunannya dimuliakan, derjatnya
ditingkatkan, maka hendaklah dia mengampuni orang yang bersalah
kepadanya, dan menyambung (menghubungi) orang yang pernah memutuskan
hubungannya dengan dia.“ (HR: Al-Hakim).
“Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan, “Manakah
orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah
kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu .Dan menjadi hak
setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga.” (HR: Adh-Dhahak dari ibnu Abbas Ra)
Jadi, tidak ada pilihan mulia bagi setiap Muslim selain mau meminta
atau memberi maaf. Sebab, sikap sombong dengan mengedepankan egoisme,
tidak akan memberi dampak, melainkan kehinaan.
Padahal, Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Lantas, bagaimana
kita mendambakan ampunan dan maaf dari-Nya, sementara kita sendiri
enggan untuk mengamalkan perintah dan anjurannya.
وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nuur [24]: 22).
Pemaaf, Paling dicintai Allah
Memaafkan benar-benar mendatangkan kemuliaan tinggi di sisi Allah.
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Ibn Umar, diriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang
paling bermanfaat di antara mereka.
Amalan yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau
masukkan ke (dalam hati ) orang Muslim atau kamu menghilangkan satu
kesedihan darinya atau engkau melunasi hutangnya atau megnhilangkan rasa
lapar darinya.
Sejatinya aku berjalan bersama saudara sesama Muslim adalm satu
kepentingan lebih kusukai daripada aku beri’tikaf sebulan di dalam
masjid.
“Barangsiapa menahan amarahnya, niscaya Allah akan menutupi
auratnya. Barangsiapa menahan emosinya, yang andaikata ia mau, ia bisa
melampiaskannya, niscaya Allah memenuhi hatinya dengan ridha-Nya pada
hari kiamat.
Dan siapa saja yang berjalan bersama saudaranya sesama Muslim
dalam satu kepentingannya hingga Dia menetapkannya untuknya, niscaya
Allah akan mengokohkan langkah kakinya pada hari turunnya segenap kaki,
dan sejatinya perangai buruk benar-benar akan merusak amal sholeh
bagaikan cuka merusak madu.” (HR. Tabhrani).
Jadi, tunggu apalagi, mari kita budayakan berani minta maaf dan
ikhlas memberi maaf terhadap sesama, terhadap keluarga, istri, orang
tua, anak, saudara, bahkan terhadap mereka yang sangat membenci kita
sekalipun. Sebab tidak ada balasan dari sifat memaafkan selain kemuliaan
di sisi Allah. Tidak kah kita hidup di dunia ini hanya untuk mendapat
keridhoan-Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar