H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Sifat dasar
dunia adalah fana’, tidak abadi. Segala yang kita temui di sini pada
hakikatnya tidak pernah menetap, namun selalu berubah. Sebagai misal,
betapa banyak penguasa yang tumbang. Di masa jayanya, setiap mata mdrasa
iri kepada yang mereka miliki, namun belum lagi siang berganti malam,
tiba-tiba roda nasib melibas mereka. Sekarang, mereka tidak dilirik
barang sedikit pun, bahkan secara terbuka dicaci dan dinistakan
martabatnya.
Alkisah, dulu di Jazirah Arab terdapat
sebuah kerajaan bernama Hirah. “Kerajaan bayangan” dari Kekaisaran
Persia ini kemudian runtuh pada zaman ‘Umar bin Khattab, seiring
kejatuhan induknya. Suatu kali, Ziyad bin Muhallab, seorang jenderal
termasyhur pada zaman Umawiyah, berjumpa dengan Hindun binti Nu’man,
putri penguasa terakhir Hirah. Ziyad pun memintanya bercerita, lalu
Hindun berkata, “Kami memasuki waktu pagi dari hari ini, sementara
tidak seorang pun dari bangsa Arab melainkan pasti mengharapkan kami.
Lalu, kami memasuki waktu senja, sementara tidak seorang pun di antara
bangsa Arab melainkan pasti merasa kasihan kepada kami.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam al-I’tibar, no. 10).
Demikianlah faktanya. Saat ini, terlalu banyak contoh serupa untuk
disajikan. Kita bisa menderetkan kisah-kisah terbaru dari Iraq, Tunisia,
Mesir, dan Libya.
Negeri kita sendiri pun merupakan gudang kasus-kasus kebangunan dan
kejatuhan para penguasa, politikus serta selebritis. Masih terbayang
dalam benak kita lambaian tangan dan senyum mereka di podium-podium
kehormatan, namun belum lagi siang berganti malam, tiba-tiba perputaran
nasib telah menjungkalkan mereka. Sebagian mereka ditahan dan menghadapi
dakwaan berlapis, tanpa harapan lolos. Sebagian lagi tewas terbunuh dan
diperlakukan lebih buruk dari seekor anjing. Lalu, sebagian lainnya
mati dalam keadaan putus asa, atau hidup nista dan diabaikan. Ini baru
masalah-masalah pelik yang mereka hadapi di dunia, dan entah bagaimana
nanti nasib mereka di akhirat.
Ini adalah contoh-contoh spektakuler. Bila skala kejadian dan pelakunya dikecilkan, maka tidak terbilang lagi padanannya.
Pelajaran yang mestinya diambil adalah: jangan terlampau mendalam
menyikapi dunia ini, karena segalanya mudah sekali berganti.
Kegembiraan, kekayaan, kelapangan, kesehatan, dan canda tawa, betapa
mudah berubah menjadi kesedihan, kemelaratan, kesempitan, sakit, dan
dukacita. Kematian pun bisa menghapus kehidupan dengan seribu satu macam
cara.
Maka, tiada pilihan terbaik kecuali bersiaga menghadapi
pasang-surutnya. Dalam pandangan Islam, ia mestinya ditempuh
pertama-tama dengan memperbaiki hati. Karena hati adalah raja, maka
dialah kunci nasib dari seluruh anggota kerajaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ingatlah,
bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah,
ia adalah hati.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Nu’man bin Basyir).
Masalahnya, manusia tidak berkuasa atas hatinya sendiri. Hati
sepenuhnya berada di bawah kendali Allah. Kita mendengar Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya hati anak Adam itu berada diantara dua jari
Allah yang Maha Pengasih, seolah-olah satu hati saja. Dia akan
memalingkannya kemana saja yang Dia kehendaki.” Beliau kemudian
melanjutkan dengan berdoa, “Ya Allah, Dzat yang kuasa memalingkan hati,
palingkanlah hati-hati kami ke arah ketaatan kepada-Mu.” (Riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Jika memperbaiki hati merupakan keharusan, sementara hati berada di
bawah kuasa Allah, maka tiada cara lain kecuali menuruti kehendak-Nya.
Dia paling tahu apa yang bisa merusak atau memperbaiki hati itu. Lalu,
apa yang Dia kehendaki dari kita? Allah berfirman;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. adz-Dzariyat: 56).
Tepatnya, Allah meminta kita beriman dan beramal shalih. Hanya iman
dan amallah yang bisa memperbaiki hati dan menjadikannya tangguh dalam
mengarungi samudera kehidupan.
Dikatakan dalam sebuah hadits: “Perkenalkanlah dirimu kepada Allah pada saat engkau sejahtera, niscaya Dia mengenalimu pada saat engkau mengalami kesulitan.” (Riwayat Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).
Menurut Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, maksudnya adalah: “Bila
seorang hamba bertakwa kepada Allah, tidak melanggar batas-batas
aturan-Nya, dan senantiasa memelihara hak-hak-Nya pada saat ia
sejahtera, maka ia telah memperkenalkan dirinya kepada Allah, sehingga
ada (hubungan) perkenalan khusus diantara dirinya dengan Tuhannya. Maka,
Tuhannya pasti akan mengenalinya pada saat ia tertimpa kesulitan dan
memelihara (hubungan) perkenalan dengannya (sebagaimana) pada saat ia
sejahtera. Maka, berkat perkenalan inilah Allah menyelamatkannya dari
kesulitan-kesulitan. Ini adalah (hubungan) perkenalan khusus yang dapat
diartikan sebagai telah dekatnya hamba itu dengan Tuhannya,
kecintaan-Nya kepadanya, dan dikabulkan-Nya doannya.”
Jadi, hanya dengan menaati Allah jiwa kita akan terbekali ketahanan
untuk menghadapi pasang-surut kehidupan, sebab ia didukung oleh Allah
secara langsung. Tanpanya, jiwa akan mudah ambruk dan akhirnya binasa.
Oleh karenanya, Qatadah bin Di’amah (seorang Tabi’in) berkata, “Sesungguhnya
amal shalih itu mengangkat (derajat) pelakunya pada saat ia kuat, dan
tatkala ia terjatuh maka ia mendapati tempat bersandar.” (Riwayat Ahmad dalam kitab az-Zuhd, no. 183). Dan, Allah-lah sebaik-baik penolong serta tempat bersandar. Wallahu a’lam.
Sumber : Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar