H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
“Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging
sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran
darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur
lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi
ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia
akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa
depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam
raya.” (Anis Matta)
Saat dua insan yang telah Allah tentukan
untuk menjadi satu, maka saat itu pula kehidupan demi kehidupan
terlahir. Membuat kesepakatan untuk membangun peradaban bersama-sama.
Menghimpun jiwa yang terpisah menjadi satu keluarga utuh. Orang tua yang
kita kenal dengan kata ayah dan ibu. Merupakan metamorfosa dari
generasi ke generasi yang melahirkan generasi selanjutnya. Ayah dari
ayahnya dan ibu dari ibunya, anak dari orang tuanya dan orang tua dari
anaknya. Ada kedudukan yang sangat besar dan mulia yang Allah berikan
kepada keduanya.
“Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah “wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil” (QS. Al Isra: 23-24)
Teringat
sebuah kisah tentang sepohon apel dan seorang anak yang setiap hari
mereka menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Saat itu anak itu masih
sangat lucu-lucunya dan senang akan tantangan. Kemudian anak kecil itu
bermain dengan sepohon apel. Waktu demi waktu mereka lalui hingga suatu
ketika anak itu tumbuh menjadi seorang anak dewasa. Anak itu kemudian
menghilang dari pandangan pohon apel, pohon apel merasa merindukan anak
itu. Lambat laun anak itu kembali ke sana, pohon itu merasa senang “ayo
kita bermain lagi” ucap si pohon. “aku sedang sedih” sahut si anak
dewasa itu dengan muka murung. “aku sedang membutuhkan uang. Kemudian si
pohon apel menjawab “saya tidak punya uang, tapi kamu bisa ambil semua
buah apelku dan kamu jual, itu akan memberikan kamu uang. “benarkah?” si
anak dewasa itu menyahut dengan girang. Kemudian si anak itupun memetik
buah-buah apel yang ada. Semenjak itu anak tadi menghilang kembali dari
pandangan si pohon apel. Pohon apel merasa sedih kembali. Beberapa
waktu anak itu kembali datang dengan keluhan yang berbeda yaitu dia
ingin membuat rumah, hingga singkat cerita si pohon apel mempersilakan
si anak untuk menebang dahan dan batangnya untuk dibuatkan rumah. Pun
hal sama dilakukan si anak, setelah mendapatkan yang diinginkan ia pergi
dan menghilang. Akan tetapi ia selalu datang kembali ke pohon apel,
hingga ia menebang batangnya yang tersisa untuk membuat perahu
pelayaran. Pergi dan datang seiringan waktu hingga ia merasa lelah dan
tua. Datang kepada pohon apel. Sambil berkata “saya sudah tua dan ingin
beristirahat”. Si pohon apel pun yang tersisa akarnya itu mempersilakan
anak tadi istirahat di akarnya.
Kisah ini ibarat orang tua kita
yang tidak pernah mengeluhkan kondisinya untuk kebahagiaan dan kebutuhan
sang anak, bahkan mereka rela dirinya harus mengorbankan apa yang
mereka punya. Hingga waktu mempersilakan untuk beristirahat. Sangat
sedih sekali sekiranya kita hanya menjadikan orang tua kita sebagai alat
pemenuh kebutuhan saja, saat butuh kita datang dan saat tidak terlalu
butuh kita pergi. Mari kita jaga orang tua kita. Karena sungguh syurga itu ada di telapak kaki orang tua (ibu).
Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar