H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Pada suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang bernama Mutiah.”
Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang
dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?
Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa
gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu
tinggi?
Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah
berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan,
menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.
Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”
“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.
“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi
berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam,
terdengar lebih gembira, dan makin mendekat ke pintu.
“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.
“Aku ditemani Hasan.”
“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan masih kecil.”
“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya.”
Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.
Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga.
Bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah
Mutiah.
Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, dengan Hasan dan Husain.”
“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”
Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.
Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan
rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun
semuanya teratur rapi.
Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih.
Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat
orang betah tinggal berlama-lama.
Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan
dan Husain pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang,
kali ini tampak asyik bermain-main.
“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang
menyiapkan makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas nampan. Juga, menaruh cambuk.
Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”
“Di ladang.”
“Penggembala?”
“Bukan. Bercocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”
“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”
Fathimah penasaran.
“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya
tanyakan apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan
terjadi apa-apa. Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya
berikan kepadanya agar punggung saya dicambuk sebab tidak bisa
menyenangkan hati suami.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan
pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya
menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia
berkata, pantas ia akan masuk surga buat pertama kali. Baktinya kepada
suami begitu besar dan tulus.
Kesetiaan yang Bersejarah
Bukan berarti Fathimah tidak termasuk tipikal wanita yang setia
terhadap suaminya. Kesetiaan dan ketaatan buah hati Rasulullah ini
kepada suami tidak diragukan lagi. Kehidupan rumah tangganya serba
kekurangan, nemun kesetiaannya yang didasari keimanan dan perjuangan
syiar Islam tidak luntur walau sedebu. Darah kesetiaan nampaknya
mengalir deras dari ibundanya, Khadijah RA, Muslimah pertama yang
mempelopori kecintaan dan kesetiaan kepada suami.
Mari kita kenang kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Peristiwa
itu ialah penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira.
Sekembalinya ke rumah, Nabi berkata kepada istrinya yang tercinta, “Aku merasa khawatir terhadap diriku.”
Saat itu Khadijah dengan segala kelembutannya berkata, “Wahai
Kakanda, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya
Kakanda adalah orang yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan,
serta sanggup memikul tanggung jawab.
Kakanda dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan
rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan,
senantiasa berbicara benar dan setia kepada amanah,” tuturnya.
Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa
bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh
Khadijah? Betapa besarnya kepercayaan (kesetiaan) dan kasih sayang
seorang istri kepada suami yang dilandasi iman yang teguh. Sedikit pun
Khadijah tidak berasa ragu-ragu di dalam hatinya.
Jika ada wanita yang berkurang kadar kesetiaannya karena alasan
penghasilan dan kekayaan, maka Khadijah merupakan wanita kaya dan
terkenal. Beliau wanita yang hidup mewah dengan hartanya sendiri. Namun
semua itu dengan rela dikorbankannya untuk memudahkan tugas-tugas
suaminya. Baginya, apa yang dimiliki tidak lebih mulia daripada
mendukung misi suci yang diemban suaminya. Sikap inilah yang menjadi
sumber kekuatan rumah tangga Rasulullah sepanjang kehidupan mereka
bersama.
Khadijah begitu setia menyertai Nabi dalam setiap peristiwa suka dan
duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, beliau pasti menyiapkan segenap
perbekalan dan keperluan. Seandainya Rasulullah agak lama tidak pulang,
Khadijah akan mengunjungi untuk memastikan keselamatan suaminya
tercinta.
Ketika Rasulullah khusyu’ bermunajat, Khadijah tinggal
di rumah dengan sabar sehingga suaminya pulang. Apabila Nabi mengadu
kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, istri teladan ini mencoba
sedapat mungkin menenteramkan dan menghiburnya sehingga suaminya
benar-benar merasakan ketenangan.
Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak
kegiatan peribadatan Rasulullah, Khadijah pasti bersama dan membantu,
misalnya menyediakan air untuk mengambil wudhu.
Kecintaan dan
kesetiaan itu bukan sekadar kepada suami, namun jelas berlandaskan
keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah. Segala pengorbanan untuk
suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.
Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang
dilaksanakan makhluk-Nya dengan penuh keikhlasan, pasti mendapat
ganjaran yang berkekalan.
مَنْ
عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم
بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).
Janji Allah itu pasti benar. Wujud kesetiaan yang telah ditunjukkan
oleh Mutiah, Fathimah, dan juga Khadijah bukan sekadar menghasilkan
kekuatan yang mendorong kegigihan dan perjuangan suaminya, namun juga
membawa barakah yang besar kepada rumah tangga mereka. Anak-anak yang
lahir dari wanita-anita seperti ini adalah anak-anak yang shalih yang
mendorong para orangtua menuju surga.
Kalaulah di zaman sekarang ini ada anggapan bahwa kesetiaan di atas
merupakan lambang perbudakan pria kepada wanita, jelas itu tidak benar.
Justru sebaliknya, itu merupakan cermin cinta, ketulusan, dan
pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama
dalam rangka mencari ridha-Nya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar