H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Nyaris
tidak ada satupun manusia yang tidak ingin memperoleh warisan harta
duniawi. Harta warisan dari orangtua memang sangat menggiurkan. Keadaan
seperti itu dialami juga oleh orang-orang yang hidup tidak lama
sepeninggal Nabi Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.
Pada suatu pagi, Abu Hurairah Radhiyallahu `anhu pergi ke sebuah
pasar. Di situ beliau melihat sebagian orang tenggelam dalam aktivitas
bisnis. Mereka asyik melakukan transaksi jual-beli. Melihat hal itu, Abu
Hurairah ingin mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam masalah
duniawai melupakan aspek ukhrawi.
Bolehlah dunia dicari namun akhirat jangan lupa untuk diburu.
Abu Hurairah berkata, “Wahai penghuni pasar, alangkah lemahnya kalian.”
Mereka bertanya penasaran, “Apa maksudmu, wahai Abu Hurairah?”
“Itu warisan Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam sedang dibagikan
sementara kalian masih di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana untuk
mengambil jatah kalian darinya?”
“Di mana?” Abu Hurairah menjawab: “Di masjid.” Maka mereka keluar
dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menjaga barang mereka sampai mereka
kembali. Setelah para penghuni kembali dari masjid, Abu Hurairah
bertanya, “Ada apa dengan kalian?”
Mereka menjawab, “Wahai Abu Hurairah, kami telah datang ke masjid, kami masuk ke dalamnya tapi tidak ada yang dibagi.”
Abu Hurairah bertanya, “Apa kalian tidak melihat seseorang di
masjid?” Mereka menjawab, “Kami melihat orang-orang yang shalat, membaca
Al-Qur’an, dan orang yang mempelajari halal-haram.”
Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian, itulah warisan Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.”
***
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Al-Awsath ini
memberikan banyak pelajaran berharga tentang pentingnya memburu warisan
yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.
Bukan
harta benda, uang, kendaraan mewah, rumah megah, gemerincing uang dinar
yang menjadi warisan. Warisan yang ada jauh lebih abadi, berlaku
sepanjang masa, itulah warisan berupa mengerjakan shalat, membaca Al
Qur`an, dan mempelajari halal-haram.
Warisan pertama adalah
shalat. Shalat merupakan tiang agama. Shalat menjadi amal yang pertama
kali diaudit oleh Allah. Ia menjadi amal yang dimintai
pertanggungjawaban oleh-Nya. Manakala shalat kita baik, amal ibadah
selanjutnya akan menjadi baik. Sebaliknya, ketika amal shalat kita
terpuruk, berlubang di waktu-waktu dalam hayat kita, seperti itulah
konsekuensi amal lainnya, minus dan penuh kecacatan.
Rasulullah
Shallahu `alaihi wa Sallam menggambarkan seorang mukmin yang menunaikan
ibadah shalat wajib seperti orang yang mandi sebanyak lima kali di waktu
pagi, siang, petang, dan malam. Ia selalu berada dalam kebersihan,
bersih dari noda dan kotoran, dosa-dosanya rontok bersama iringan bacaan
dan gerakan shalatnya.
Kedudukan shalat menjadi semakin penting
saja, saat perintah pelaksanaannya disampaikan langsung oleh Allah
Subhanahu Wa Ta`ala kepada Rasul Shallahu `alaihi wa Sallam dalam
peristiwa isra`-mi`raj.
Imam Ahmad bin Hajar Al-Haitamiy dalam
kitabnya Al-Zawajir mengetengahkan sebuah hadits yang menyebutkan
sejumlah kemuliaan bagi yang melaksanakan shalat dan kehinaan bagi yang
meninggalkannya.
Secara singkat, dalam hadits yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar
tersebut, disebutkan bahwa Allah memberikan 5 kemuliaan pada orang yang
melaksanakan shalat:
Pertama. Allah akan angkat kesulitan dari kehidupannya
Kedua. Dilindungi dari azab kubur
Ketiga. Catatan amalnya diberikan di tangan kanannya
Keempat. Melewati jembatan akhirat secepat kilat
Kelima. Masuk surga tanpa hisab.
Masih dalam hadits yang sama, ada 15 kehinaan bagi orang yang
meremehkan shalat terdiri dari 6 kehinaan di dunia, 3 saat kematian
datang, 3 di alam kuburnya, dan 3 saat dibangkitkan dari alam kubur.
6 kehinaan di dunia : Diangkatnya keberkahan dari umurnya,
dihapuskannya tanda-tanda kaum shalihin dari wajahnya, setiap perbuatan
yang ia kerjakan tidak mendapatkan pahala dari Allah, doanya tidak
diangkat ke langit, tidak masuk dalam bagian doa orang-orang shaleh, dan
mudah menyimpan kebencian pada orang lain.
3 kehinaan saat datang kematian: mati dalam keadaan hina, meninggal
dalam keadaan kelaparan, mati dalam keadaan kehausan meski lautan di
dunia diminumkan kepadanya. 3 kehinaan di alam kubur : kuburnya akan
menghimpitnya hingga meremukkan tulang-tulangnya, dinyalakan api dalam
kuburnya di waktu siang dan malam hari, dan disisipkan ular dalam
kuburnya. Sedangkan 3 kehinaan setelah dibangkitkan dari alam kubur
adalah: menghadapi hisab (perhitungan) yang sangat berat, mendapatkan
murka Allah, dan masuk ke dalam api neraka.
Inilah warisan pertama Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam yang
beliau berikan kepada kita. Dalam shalat ada komunikasi dan dialog
dengan Tuhan, momentum untuk menumpahkan segala asa dan perasaan,
bersimpuh sujud, memohon petunjuk, dan hidayah-Nya. Dinamakan shalat,
kata Habib Alwi bin Syahab, karena ia adalah shilah (penghubung) antara
seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalatnya terputus, maka hubungan
seorang hamba menjadi terputus juga.
Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang meremehkan waktu-waktu
shalat yang terwujud dalam sikap dalam menunda melaksanakannya, tidak
bersungguh-sungguh, hanya sekadar menggugurkan kewajiban, bahkan sampai
pada taraf meninggalkannya. Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan,
“Di antara perbuatan yang bisa menyebabkan kematian yang buruk (su`ul
khatimah) adalah meninggalkan shalat.”
Warisan kedua Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam adalah membaca
Al-Qur`an. Al Qur`an merupakan kitab rujukan utama. Tidak ada satu
kitabpun di dunia ini yang lebih indah susunan kata-katanya, jelas dalam
memberikan keterangan, mencakup segala aspek, bersih dari tangan-tangan
jahil, melebihi Al-Qur`an.
Al Qur`an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup. Ia menjadi
kitab yang paling banyak diperbincangkan sejak dulu hingga kini. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, membaca Al Qur`an semakin
terpinggirkan, kalah riuh oleh kegaduhan musik. Anak-anak kita semakin
pandai dan cakap saja dalam melantunkan lirik-lirik lagu bertema
‘pacaran’, bercinta, ajakan kepada maksiat, kegelisahan, putus cinta,
dan sebagainya.
Di sisi lain, orangtua lebih sibuk untuk membuat putra-putri mereka
sukses di dunia daripada memikirkan kehidupan mereka selepas mereka
hidup dunia ini. Al-Qur`an menjadi perhatian hanya di masa bangku
sekolah dasar, itupun cukup di TPQ, sementara para orangtua tidak merasa
bersalah ketika mereka tidak memberi contoh membaca Qur`an karena
ketidakmampuannya.
Selepas Sekolah Dasar, anak-anak tak lagi berhasrat atau tidak
dimotivasi untuk memperdalam Al Qur`an. Mereka dikondisikan untuk lebih
fokus dengan materi pelajaran yang tidak seimbang antara kebutuhan
spiritual dan intelektual. Imam Abu `Amr bin Shalah dalam Fatawa-nya
mengatakan bahwa, “Membaca Al Qur`na merupakan sebuah kemuliaan yang
dengannya Allah memuliakan manusia.
Malaikatpun tidak diberi kemuliaan seperti itu, padahal mereka sangat menginginkannya setelah mendengar manusia membacanya.”
Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim untuk
mampu membaca, memahami, merenungi, mengamalkan, dan mengajarkan
Al-Qur`an. Inilah warisan kedua yang ditinggalkan oleh Rasul Shallahu
`alaihi wa Sallam kepada kita, umatnya, agar kita terbimbing dalam jalan
kebenaran, tidak terseok-seok dalam kesesatan. Sayidina Abdulah bin
Mas`ud Radhiyallahu `anhu pernah berucap, “Jika kalian menginginkan
ilmu, maka sebarluaskan Al-Qur`an sebab di dalamnya tersimpan ilmu
orang-orang terdahulu dan yang akan datang.”
Warisan berikutnya adalah mengetahui status halal-haram. Warisan
terakhir ini memberi hikmah kepada kita tentang pentingnya mengenal
status halal-haramnya suatu barang, makanan, atau perbuatan yang akan
kita lakukan. Sayidina Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu, selaku
Amirul Mukminin, pernah berkata kepada seluruh pedagang di pasar kota
Madinah, “Tidak ada yang boleh berjualan di pasar kami (yaitu) orang
yang belum memiliki ilmu sebab orang yang tidak berilmu ia bisa memakan
riba` tanpa menyadarinya.”
Sikap kehati-hatian dalam halal-haram tampak dari sikap Sayidina Abu
Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu `anhu. Suatu hari, usai kembali dari
pasar beliau meminum segelas susu. Beliau meminum susu tersebut tanpa
curiga sedikitpun tentang asal-usul segelas susu tersebut. Saat itu,
pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan
segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, “Ya
Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti
menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa
sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi
langsung meminumnya?”
Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, “Memangnya susu ini dari mana?”
Pembantunya
menjawab, “'Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum
masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.
Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak
sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat
akan membayar.
Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.”
Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke
dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah. Beliau
berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin
sedikit pun tersisa.
Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan karena
berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum lalu
berkata, “Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari
perut saya, saya rela. Saya mendengar Rasulullah Shallahu `alaihi wa
Sallam bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari sumber yang haram maka
neraka adalah tempat yang pantas baginya.”
Tidak hanya itu, istri para As-salaf ash-shalih (para
pendahulu kita yang baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun
berpesan, “Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu
bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.”
Ketiga warisan nabi yaitu menunaikan shalat, membaca Al-Qur`an, dan
mengatahui hal-hal yang halal dan haram, merupakan warisan yang harus
kita jaga dengan sungguh-sungguh. Shalat tepat pada waktunya dengan
berjama`ah. Membaca Al Qur`an sesuai tajwid lalu berusaha memahami dan
mengamalkannya, dan mengetahui status halal-haram pada suatu barang
dengan tepat dan teliti.
Jika warisan duniawi begitu disukai meski bersifat sementara, yang
akan sirna seiring berlalunya waktu, maka tiga warisan di atas harus
lebih kita utamakan dari masa ke masa, karena ketiga warisan ini akan
mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar