H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Sempurnanya kemanusiaan manusia di muka bumi ini adalah ketika ada
petunjuk yang membimbingnya ke jalan yang benar, karena tanpa petunjuk,
manusia menjadi lebih sesat dari binatang. Al-Quran adalah petunjuk yang
memberitahukan ke mana seharusnya “langkah manusia” diarahkan. Inilah
hikmah kenapa Allah menyebutkan Al-Quran lebih dahulu daripada
penciptaan Insan di dalam Surat Ar-Rahman.
Manusia mungkin
saja menemukan kebenaran dengan akalnya, namun akal bukan petunjuk aman
yang selalu benar menunjukkan jalan. Akal manusia bisa salah, sedangkan
Al-Quran tidak akan pernah salah. Karena itu tidak ada alasan sedikit
pun bagi seorang muslim untuk sekedar berfikir bahwa akal adalah
segalanya, apa yang tidak dijangkau akal adalah tidak ada.
Selama
ini kita sudah terjebak oleh kata-kata “Terjangkau akal”. Darwin
menafikan “Pencipta” dan memilih mereka-reka teori yang terbukti bualan
belaka, sebabnya karena Tuhan tak terjangkau oleh akal. Apa benar Tuhan
tak mampu terjangkau akal atau akal “yang berusaha menjangkaunya” tak
mampu? Darwin bukan satu-satunya ilmuwan di muka bumi ini, jika Darwin
mengatakan bahwa pencipta tidak ada, mengapa ilmuwan lain mengatakan
bahwa pencipta ada? Lantas apa yang membedakan Darwin dan ilmuwan lain
yang mengakui adanya Pencipta? Akal! itulah yang membedakan dirinya dan
ilmuwan lainnya.
Karena manusia punya akal, dan karena akal
manusia itu berbeda-beda, maka terjadilah perbedaan, yang satu
menyatakan “ini benar”, yang lain menyatakan “ini salah”. Akhirnya yang
terjadi adalah membuat jalan tengah dengan mengatakan “Kebenaran itu
relatif”, yang mengatakan bahwa “Pencipta tidak ada” sah, yang
mengatakan sebaliknya pun sah karena “Kebenaran itu relatif”. Mereka
yang belum “dewasa pemikirannya” mungkin menerima, tapi sesaat setelah
pemikiran mereka dewasa, akal mereka sendiri yang akan menolaknya, Insya Allah.
Sebagaimana
akal bisa benar dalam menentukan mana yang salah, akal juga bisa salah
dalam menentukan mana yang benar. Begitulah selamanya sifat akal! selalu
relatif dan karenanya tidak aneh jika ada yang mengatakan “Kebenaran
itu relatif”, karena akal manusia relatif (berbeda-beda). Jadi, layak
kah akal dijadikan standar kebenaran? Apa yang menurut akal benar adalah
benar, dan apa yang menurut akal salah adalah salah? Biarkan fakta
sejarah yang menjawab.
Sesungguhnya sejarah telah mencatat,
bagaimana nasib sebuah peradaban yang salah dalam menentukan mana yang
benar. Tahun 487 M di Iran, muncul sebuah ajaran yang bernama Mazdak.
Ajaran ini mempropagandakan bahwa semua manusia dilahirkan sama tanpa
perbedaan apapun juga. Oleh karena itu, manusia harus hidup secara sama
dan tidak boleh ada perbedaan. Mengingat bahwa kekayaan dan wanita
membuat manusia mengutamakan diri sendiri dan menjadi sumber perbedaan
sosial, menurut Mazdak dua hal itu merupakan persoalan terpenting yang
harus dipersamakan dan dikolektifkan.
Seruan tersebut mendapat
sambutan dan persetujuan dari kalangan pemuda, kaum hartawan dan
golongan-golongan yang hidup berfoya-foya, karena sesuai dengan selera
dan hawa nafsu mereka. Ajaran Mazdak ini beruntung juga karena mendapat
perlindungan dari istana (pemerintah). Raja Persia ketika itu ikut andil
dalam mendukung aktif, dan menyebarluaskannya.
Mengenai hal ini At-Thabari mengatakan:
“Kesempatan
tersebut dimanfaatkan oleh rakyat lapisan bawah untuk berhimpun di
sekitar Mazdak dan kawan-kawannya. Mereka menjadi bertambah kuat dan
membahayakan orang banyak, karena mereka berani masuk menyerbu ke dalam
rumah orang lain dan bertindak sewenang-wenang, merampas apa yang ada di
dalam rumah dan menggagahi wanita-wanita yang dijumpainya, dalam
keadaan penghuni rumah tidak berdaya menghadapi mereka. Mereka terus
mendorong Qubads (raja Persia) supaya mendorong dan membagus-baguskan
tindakan mereka, dan mengancam akan menurunkannya dari tahta kerajaan
bila ia tak mau memenuhi tuntutan mereka. Dalam waktu singkat di Iran
banyak orang yang tak mengenal anaknya dan anak tidak mengenal siapa
ayahnya, dan banyak pula orang-orang yang tidak bisa memiliki sesuatu
untuk dapat hidup berkecukupan.”
Lebih jauh Thabari mengatakan:
“sebelum itu, Qubads sebenarnya termasuk raja Persia yang terbaik, tapi
setelah melibatkan diri dalam kerjasama dengan Mazdak, kekacauan
merajalela dan ketenteraman menjadi rusak.”
Maha benar Allah dengan segala Firman-Nya:
“Dan
seandainya kebenaran itu menuruti keinginan/hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami
telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari
peringatan itu” (Qs. Al-Muminun: 71)
Demikianlah sejarah
telah berbicara tentang akal ketika ia dijadikan “Segalanya”, apa yang
menurutnya benar adalah benar, dan yang menurutnya salah adalah salah.
Bagaimanakah
seharusnya seorang muslim berfikir? bagaimanakah seharusnya seorang
muslim mencari kebenaran? dalam konteks ini, sejatinya cara berfikir
seorang muslim adalah tidak berhenti begitu saja pada kesimpulan
akalnya, kenapa? karena Allah telah menciptakan perangkat untuk mencari
“Kebenaran”. Manusia terlahir include dengan perangkat ini,
sepatutnya kita bersyukur atas apa yang telah Allah ciptakan dalam diri
kita, dan salah satu bentuk syukur kita kepadaNya atas nikmat perangkat
yang Allah berikan ini adalah dengan mempergunakan dan memfungsikannya
sebaik mungkin.
Perangkat-perangkat tersebut adalah akal, hati dan
wahyu. Perangkat akal terbatas fungsinya, karena itu Allah memberikan
hati. Rasulullah SAW menjelaskan dalam sabdanya:
Nawwas bin Sam’an RA berkata; Nabi SAW bersabda:
“Kebajikan
adalah akhlaq terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwamu
serta engkau tidak suka apabila masalah itu diketahui orang lain.” (HR Bukhari)
Dalam hadits lain yang disampaikan oleh Wabishoh bin Ma’bad RA, ia berkata, Aku mendatangi Rasulullah SAW, beliau bertanya; “Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? Aku menjawab ‘Ya benar‘. Beliau bersabda:
“Tanyakan
pada hatimu sendiri! Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwamu
tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah sesuatu yang
menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meski telah
berulang kali manusia memberi fatwa kepadamu” (Hadits hasan diriwayatkan dari dua imam; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan).
Jika
akal mungkin salah dalam berfikir, jika hati/nurani mungkin tertutup
nafsu, maka, keduanya adalah jalan yang kurang aman untuk sampai kepada
kebenaran. Jadi, wahyu/syariat lah satu-satunya jalan yang aman untuk
sampai kepada kebenaran, karena Allah lah yang menciptakannya.
Karenanya, sekalipun akal dan hati nurani dikombinasikan, tetap saja
belum cukup mampu untuk mendeteksi kebenaran ketika wahyu tidak
disertakan.
Dalam praktek kehidupan nyata, wahyu/syariat pun tidak
berjalan sendiri, agar tidak diterjemahkan secara leterlek (zahir).
Karena itulah kita mengenal apa yang disebut dengan istinbath atau istidlal (mengeluarkan dalil) dari teks/matan wahyu tersebut, dan sudah barang tentu ini memerlukan kerja akal.
Imam
Ghazali berkata yang maknanya “Perumpamaan Akal yang sehat (akal yang
benar) adalah seperti mata yang bebas dari penyakit, dan kerusakan.
Adapun perumpamaan Al-Quran adalah seperti Matahari yang cahayanya
terpancar”.
“Jika demikian perumpamaan keduanya, maka adalah hal
yang keliru ketika kita mencukupkan dengan salah satu dari keduanya,
akal saja, atau Quran saja. Orang yang mencukupkan diri dengan Al-Quran
dan menolak akal, seperti orang yang memejamkan mata, walaupun matahari
terang cahayanya, tetap saja gelap pandangannya. Sama halnya dengan
orang yang mencukupkan diri dengan akal dan menolak Al-Quran, maka ia
seperti orang yang sehat penglihatannya, tapi gelap di sekitarnya
membuat ia tak dapat melihat apa-apa. Kedua-duanya tidak ada beda dengan
orang buta.”
Intinya, akal, hati, dan wahyu tidak berjalan
sendiri-sendiri. Sebenarnya hubungan ketiganya harmonis, sampai manusia
sendiri yang mencerai-beraikannya. Muncul lah wacana “Wahyu VS akal”,
dan ini semestinya tidak perlu muncul jika wahyu yang dimaksud terjamin
keotentikannya, ini juga tak perlu muncul jika penggunaan akal sesuai
porsinya, tidak berlebihan dalam lebih, dan tidak berlebihan dalam
kurang. Jadi jika suatu waktu muncul isu “Al-Quran bertentangan dengan
akal”, maka ketahuilah bahwa kesalahan tidak terletak pada Al-Qurannya,
tapi pada “orang yang membawa” Al-Qurannya.
Dapat disimpulkan
bahwa seorang muslim tidak hanya dituntut untuk benar dalam berfikir,
tapi juga memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidupnya, karena Al-Quran
bukan semata-mata perkataan tanpa maksud dan tujuan. Setiap perkataan
dimaksudkan untuk dipahami makna-maknanya, bukan untuk sekedar dihafal,
dan Al-Quran lebih utama untuk dipahami (ditadabburi) makna ayat-ayatnya
sebelum perkataan lainnya, oleh karena itu, mentadabburi ayat-ayat
Al-Quran sama pentingnya dengan menghafalnya. Begitulah cara Sahabat Rhadiyallahu anhum menghafal Al-Quran, yakni dengan mentadabburinya juga. Demikianlah agar Al-Quran benar-benar menjadi petunjuk kehidupan kita.
Wallahualam bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar