Namun tak sedikit, justru memahami sebaliknya. Contoh nyata adalah keberadaan kaum feminis (khususnya yang menyebut feminisme Muslim) yang sering menuntut “kesetaraan” dengan laki-laki. Umumnya, kehadiran mereka karena keresahan melihat ayat-ayat yang diturunkan langsung oleh Allah sendiri atau “tersakiti” dengan apa-apa yang disampaikan Rasululllah.
Adalah Fatima Mernissi, salah seorang tokoh feminis yang sering menjadi rujukan aktivis perempuan di Indonesia. Dalam sebuah bukunya, “Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry”. ia “curhat” atas adanya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari.
“Apa yang dikisahkan para guru kami, membuat hati saya terluka….Bagaimana mungkin Nabi dapat mengatakan hal yang sangat melukai diri saya….,“ tulis Mernissi.(Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry, Blackwell Publisher Ltd,5TH ed., 1995, hal.65).
Menurut Mernissi, banyak hadits (termasuk hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari) yang membuat hatinya justru sakit. Hal itu dikarenakan, hadits-hadits tersebut telah “merendahkan” dan “menghina” wanita. Baginya, hadits-hadits tersebut bernuansa kebencian terhadap perempuan. Maka hadits-hadits tersebut diklaim sebagai hadits mosiginis (memiliki kebencian terhadap perempuan). Pandangan Mernisi dengan mengistilahkan “merendahkan” atau “menghina” ini memang belum jelas.
Hadits lain yang dituduh sebagai hadits misoginis adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut:
“Rasulullah saw pada Hari Raya ‘Iedul Adha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para perempuan seraya bersabda: “Wahai para perempuan, hendaklah kalian bersedekah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka.” Mereka bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian”. Mereka bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa maksud dari kurang agama dan akal kami?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?” Mereka jawab, “Benar.” Beliau berkata lagi: “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?” Mereka jawab, “Benar.” Beliau berkata: “Itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 293).
Perbedaan = Fitrah
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya terlebih dahulu kita memantapkan keyakinan bahwa apa yang Rasulullah sampaikan adalah benar, karena beliau adalah Nabi yang diberi maksum oleh Allah. Pengertian 'maksum' adalah terjaga. Sangat berbeda dengan manusia umum, yang bisa berbohong. Sifat ini langsung keistimewaan Allah yang tidak diberikan pada manusia lain.
Selain itu, Islam memiliki worldview (cara pandang) yang berbeda dengan Barat. Kalau Barat memandang sesuatu harus dimulai dengan keraguan, maka tidak demikian halnya dengan Islam. Dalam Islam, yakin adalah hal yang harus didahulukan.
Istilah “kurang akal” dalam hadits ini adalah pengertian dalam konteks persaksian saja, tidak dalam hal yang lainnya.
Abu Syuqqoh, salah satu ulama Mesir dalam bukunya yang berjudul “Kebebasan Wanita” menjelaskan bahwa yang dimaksud “kurang akal’ adalah kelemahan dari segi pemanfaatan akal, bukan dari segi kapasitas atau kemampuannya. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas akal yang diberikan Allah kepada mereka secara sepadan, akan tetapi ketika berhadapan dengan masalah atau realitas tertentu dalam kehidupan, respon akal laki-laki bisa jadi lebih kuat daripada respon akal perempuan secara umum. Hal ini menandakan adanya kekurangan dari segi pemanfaatan akal, bukan dari segi potensinya. Jadi makna ini lebih pada masalah psikologis.
Sebagaimana kaum laki-laki memiliki kapasitas perasaan hati yang sepadan dengan perempuan, akan tetapi berbeda dalam pemanfaatan. Tatkala berhadapan dengan masalah atau suatu peristiwa dalam kehidupan, maka respon perasaan perempuan lebih kuat daripada respon perasaan rata-rata laki-laki. Ini juga menandakan adanya perbedaan dari segi pemanfaatan, bukan dari segi potensi.
Tentang pengertian “kurang agama” disebabkan perempuan tidak bisa sholat dan puasa ketika sedang haidh.
Penjelasan mengenai “kurang agama” ini sudah dibatasi oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Bukankah apabila perempuan haidh, ia tidak shalat dan shaum? . Jadi pengertian “kurang agama” tidak untuk digeneralisir dalam semua konteks kemampuan ilmu agama atau persoalan ibadah. Sebab Allah swt telah jelas menyebutkan derajat wanita dan pria dalam hal beragama di hadapan Allah swt. Allah berfirman:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] : 35).
Sikap Muslimah Sejati
Para ulama telah menjelaskan bahwa walaupun secara zahir teks tersebut menunjukkan kelemahan perempuan, akan tetapi maksud sebenarnya dari hadits tersebut tidaklah untuk merendahkan. Ia hanya menjelaskan perbedaan yang sama sekali bukan bermakna diskriminasi. Ia tidak bermakna perempuan adalah inferior dan laki-laki adalah superior karena masing-masing telah diberikan oleh Allah Taala kelebihan dan kelemahan dalam bidang-bidang tertentu.
Meski sebagaian kaum feminis menganggap haidh, mengandung, melahirkan, dan semacamnya adalah “penindasan” dari Tuhan kepada perempuan. Tetapi bagi para perempuan yang beriman, itu justru merupakan sebuah anugerah, sebab dengan taqdir-Nya itulah perempuan tiga kali lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki/kaum bapak.
Dalam banyak hadits, kaum ibu mendapatkan hak penghormatan tiga tingkat lebih tinggi di atas kaum bapak.
Dalam sebuah riwayatkan dijelaskan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhak aku hormati?” Rasulullah menjawab, ”Ibumu.” Jawaban itu diulang hingga tiga kali. Baru berikutnya Rasulullah SAW menyebut bapak sebagai orang yang harus dihormati (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah no. 5971; Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab birril-walidain wa annahuma ahaqqu bihi no. 6664).
Menurut para ulama, hal itu disebabkan ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak; tiga hal yang tidak dilakukan oleh kaum bapak (lihat: Fath al-Bari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah).
Bahkan, berbagai ayat al-Qur`an yang menyinggung keharusan berbakti kepada orangtua pun sering menyebut jasa ibu dalam ketiga hal tersebut (Lihat misalnya QS. Al-Ahqaf [46] : 15 dan Luqman [31] : 14)
Jelaslah bahwa hadits Nabi dan apapun yang digariskan Allah kepada kaum perempuan sejatinya untuk rahmat dan kemuliaan kaum perempuan itu sendiri.
Hanya saja, tanpa ketertundukan pada wahyu, sebagai kebenaran yang diturunkan untuk kenikmatan hidup manusia, wanita manapun tak akan mampu merasakannya. Semoga artikel mampu menyadarkan kaum feminis dan bisa menjadi “obat hati” untuk kaum yang telah terlanjur sakit hati. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar