Menjadi tradisi sosial bahwa setiap orang yang telah menunaikan
ibadah haji namanya ditambah dengan haji atau hajah. Jamak kemudian
panggilan Pak Haji untuk laki-laki dan Bu Hajah untuk perempuan. Kiranya
ini merupakan tradisi yang menarik untuk diteliti. Mengapa demikian ?
Hanya
dalam ibadah haji saja ada tradisi menambah titel haji untuk laki-laki
dan hajah untuk perempuan. Mengapa ketika ada orang yang rajin
melaksanakan ibadah salat, namanya tidak ditambah titel musholli? Mengapa namanya tidak ditambah titel muzakki ketika ia melaksanakan zakat? Mengapa namanya tidak ditambah titel shoim ketika ia rajin melaksanakan puasa?
Menurut
hasil pelacakan sejarah, pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan
tabi’in (pengikut nabi) tidak ditemukan tambahan titel (nama atau
panggilan) haji atau hajah bagi mereka yang sudah menunaikan ibadah
haji. Bahkan dengan pertimbangan penggunaan titel haji dapat merusak
ketulusan niat ibadah haji, dengan munculnya sifat daqaiqurriya
(sifat pamer), para Syeh (Masyayih) di Al-Azhar menolak penambahan
titel atau gelar haji pada nama mereka. Penolakan itu juga dengan
pertimbangan sifat daqaiqurriya dapat menghanguskan semua pahala dhiya’il ujur (silakan baca Abdul Wahab al-Sya’rany dalam kitab Minahussaniyah).
Pada
dasarnya titel haji dapat menjadi bagian dari legitimasi formal tingkat
spiritualitas seseorang. Artinya titel itu hanya berhak dimiliki oleh
mereka yang telah menunaikan rukun Islam yang kelima yang memang banyak
membutuhkan biaya (istitho’ah) dalam sudut pandang muslim Indonesia.
Hanya
saja, apakah titel tersebut menunjukkan kualitas spiritual secara
substansial seseorang? Padahal Nabi pernah bersabda bahwa ‘Allah tidak
melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan titel (gelar)
yang dipakai, tetapi dari keimanan yang ada dalam hati.’ Kiranya menjadi
jelas bahwa ukuran kualitas spiritual secara substansial seseorang
bukan dari titel haji tetapi sejauh mana ibadah-ibadah yang telah
dilaksanakan memberi atsar (membekas positif) dalam hati
sanubari dan terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah nilai
ibadah seseorang sangat bergantung kepada keikhlasan hamba menghadap
kepada Allah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar