Kamis, 27 Oktober 2011

Status Sosial

Menjadi tradisi sosial bahwa setiap orang yang telah menunaikan ibadah haji namanya ditambah dengan haji atau hajah. Jamak kemudian panggilan Pak Haji untuk laki-laki dan Bu Hajah untuk perempuan. Kiranya ini merupakan tradisi yang menarik untuk diteliti. Mengapa demikian ?

Hanya dalam ibadah haji saja ada tradisi menambah titel haji untuk laki-laki dan hajah untuk perempuan. Mengapa ketika ada orang yang rajin melaksanakan ibadah salat, namanya tidak ditambah titel musholli? Mengapa namanya tidak ditambah titel muzakki ketika ia melaksanakan zakat? Mengapa namanya tidak ditambah titel shoim ketika ia rajin melaksanakan puasa?

Menurut hasil pelacakan sejarah, pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in (pengikut nabi) tidak ditemukan tambahan titel (nama atau panggilan) haji atau hajah bagi mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Bahkan dengan pertimbangan penggunaan titel haji dapat merusak ketulusan niat ibadah haji, dengan munculnya sifat daqaiqurriya (sifat pamer), para Syeh (Masyayih) di Al-Azhar menolak penambahan titel atau gelar haji pada nama mereka. Penolakan itu juga dengan pertimbangan sifat daqaiqurriya dapat menghanguskan semua pahala dhiya’il ujur (silakan baca Abdul Wahab al-Sya’rany dalam kitab Minahussaniyah).

Pada dasarnya titel haji dapat menjadi bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Artinya titel itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukun Islam yang kelima yang memang banyak membutuhkan biaya (istitho’ah) dalam sudut pandang muslim Indonesia.

Hanya saja, apakah titel tersebut menunjukkan kualitas spiritual secara substansial seseorang? Padahal Nabi pernah bersabda bahwa ‘Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan titel (gelar) yang dipakai, tetapi dari keimanan yang ada dalam hati.’ Kiranya menjadi jelas bahwa ukuran kualitas spiritual secara substansial seseorang bukan dari titel haji tetapi sejauh mana ibadah-ibadah yang telah dilaksanakan memberi atsar (membekas positif) dalam hati sanubari dan terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah nilai ibadah seseorang sangat bergantung kepada keikhlasan hamba menghadap kepada Allah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar