Kamis, 27 Oktober 2011

Ibadah Prioritas ?

Ibadah haji pada dasarnya sama dengan ibadah-ibadah yang lain seperti salat, puasa dan zakat, yakni sebagai fondasi agama (rukun Islam). Semua mempunyai misi yang sama yakni terakumulasi dalam ajaran yang selalu responsif terhadap sosial-kemanusiaan (antroposentris). Persentase haji hanya 25% dari ajaran Islam dan itu pun hanya sebagai tiang fondasi, belum pada substansi ajarannya. Namun, di masyarakat terkesan ibadah haji adalah ibadah prioritas dan ibadah prestise.

Hal itu kiranya wajar karena di tengah masyarakat awam masih ada asumsi bahwa ibadah haji adalah ibadah yang mampu mengangkat citra sosial. Ada asumsi bahwa orang yang sudah beribadah haji adalah orang Islam yang sempurna-kaffah. Padahal realitanya, ada orang yang sudah berhaji, tapi salat atau zakat atau puasa wajibnya belum berjalan dengan baik. Ini merupakan ekses dari pemahaman terhadap agama yang terlalu mengedepankan aspek ritual dan simbol-hanya menekankan pada aspek ibadah mahdah tanpa diimbangi secara proporsional dari dimensi keagamaan lainnya yakni nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).

Haji pada dasarnya merupakan ibadah dalam keranka pelatihan bagi manusia untuk menuju kesalehan sosial (pelatihan humanisme). Dalam bahasa sosiolog muslim Iran Ali Shariati, penuh dengan simbol-simbol semangat kemanusiaan yang anggun dan mendasar. Hal ini dapat dilihat dalam acara-acara ritual atau non ritualnya, kewajiban-kewajiban atau larangan-larangannya, serta ajaran substansial maupun formalnya.

Sebut saja misalnya, ditanggalkannya pakaian kebesaran (pakaian keseharian) seraya menggunakan pakaian ihram (pakaian yang putih-suci) yang sederhana. Hal ini merupakan simbol menanamkan moral dan perilaku dengan membuang sekat kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya.

Egoisme keakuan lebur dalam kekitaan, kebersamaan dan kesamaan yang hadir hanya kepada Allah (lihat Alquran 2:196, 24: 42, 22: 27). Ini juga simbol yang berfungsi pelatihan disiplin diri dan kontrol diri, di mana benda-benda suci ditakzimkan, kehidupan tumbuh-tumbuhan serta burung-burung sekali pun tidak boleh diganggu dan segala sesuatunya hidup tenteram (lihat Alquran 22: 30, 22: 32, 2: 125). Dan masih banyak lagi simbol-simbol kemanusiaan lainnya.

Di samping itu, jika kita simak dalam tarikh (sejarah) Nabi SAW tentang substansi khotbah Nabi ketika haji wada’ (haji perpisahan). Nabi menekankan pentingnya persamaan, mengharuskan memelihara jiwa, harta dan penghormatan kepada orang lain, serta larangan menindas kaum lemah baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya. Wasiat Nabi ini mengisyaratkan pentingnya mengaktualisasikan simbol-simbol kemanusiaan dalam ibadah haji setelah menunaikannya.
Ibadah haji merupakan pelatihan kemanusiaan, bukan ibadah prestise yang menumbuhkan kelas tersendiri dengan sebutan haji dan mendaftarkan diri secara resmi dalam Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar