H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Sesungguhnya samudera ilmu di dunia ini teramat luas untuk
diselami. Hujan-hujan ilmu pengetahuan juga senantiasa mengucur deras
dari langit hikmah. Embun-embun petunjuk dapat senantiasa dinikmati
setiap harinya untuk menghilangkan kegersangan pikiran kita.
Cahaya-cahaya ilmu tersedia tanpa batas buat menerangi kegelapangan
pemahaman kita.
Setiap manusia punya kesempatan yang sama
untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar yang dapat mengobati
kerinduannya akan ilmu pengetahuan. Pembelajar yang menyenangi proses
dan upaya meningkatkan kualitas diri. Memperbanyak mencari tahu tentang
apa saja yang belum diketahuinya. Memiliki semangat pantang menyerah
sebelum ilmu yang diingini dikuasai. Bersabar jalani proses-prosesnya.
Rendah hati dalam menjalaninya. Meskipun yang menyampaikan ilmu kepada
nya seorang anak yang muda usia. Pembelajar sejati, belajar dari siapa
saja.
Belajar Hingga Nafas Terhenti
Ada
sebuah kisah menarik dari seorang yang bernama Abu Ar Raihan, seorang
ahli falak, sejarawan sekaligus sastrawan. Abu Ar Raihan sakit keras di
tengah usianya mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok
di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan
demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaji, seorang faqih di masanya
sekaligus sahabatnya. ”Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada
suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?”
“Apakah
dalam kondisi seperti ini pantas (membahas masalah itu)? Jawab Al
Walwaji menaruh belas kasihan. ”Wahai Al Walwaji saya meninggalkan dunia
dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya
meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya.”
Akhirnya Al
Walwaji mengulang apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya kepada Abu
Raihan. Dan beliau menghafalnya. Tidak lama kemudian Al Walwaji keluar,
dan saat dijalan beliau mendengar teriakan yang mengabarkan kepergian
sahabatnya itu. Abu Raihan telah wafat dalam keadaan menghafalkan ilmu.
Sebuah episode akhir kehidupan yang mengagumkan.
Kisah di atas
mengajarkan kita tentang aktivitas pembelajar sejati yang sangat
mengagumkan, bahkan ketika detik-detik menjemput kematian pun masih
dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan menguasainya. Tarbiyah
Madal Hayah. Belajar hingga menutup mata. Rasulullah SAW bersabda:
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut
menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau
pendidikan seumur hidup. Kehidupan di dunia ini tidak akan pernah sepi
dari kegiatan belajar, sejak mulai lahir sampai hidup ini berakhir.
Seandainya besok kita tahu akan datang kiamat pun, kita mesti belajar
dan menanami pohon-pohon kebaikan sebanyak-banyaknya. Artinya kita harus
mengambil manfaat dan menyebarkan manfaat dari siapa pun dan kepada
siapa pun. Seperti Abu Raihan, jauh lebih indah meninggalkan dunia ini
dalam keadaan mengetahui jawaban dari sesuatu daripada membawa rasa
penasaran yang tak terjawab ke liang lahat.
Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya
Pembelajar
sejati adalah mereka yang senantiasa melewati perputaran usianya untuk
menambah ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Mereka tak pernah
menyerah sebelum ilmu yang diinginkannya berhasil dikuasai. Pembelajar
sejati amat sangat pelit dengan waktunya. Namanya Muhammad bin Sahnun
(256 H). Dia adalah orang yang senantiasa menyibukkan waktunya untuk
membaca, menelaah ilmu dan menulis. Aktivitas itu dia lakukan hingga
larut malam. Mengetahui majikannya sibuk, pembantunya yang biasa
dipanggil ummu Mudam menyediakan makanan, lalu mempersilakan Sahnun
untuk makan. Akan tetapi Sahnun hanya menjawab, saya sedang sibuk”. Dia
tetap asyik dengan tulisan dan sedikit pun tidak menyentuh makanan yang
disediakan. Hal itu mendorong Ummu Mudam berinisiatif menyiapkan makanan
itu ke mulut sang majikan. Suapan demi suapan ia berikan hingga makanan
itu tandas. Saat Adzan subuh berkumandang, kepada pembantunya Sahnun
mengatakan, saya telah menyibukkanmu tadi malam, Wahai Ummu Mudam.
Sekarang mana makanan itu?”. Pembantu itu menjawab,” Demi Allah wahai
Tuan, saya telah menyuapkannya kepada Anda.”Sahnun heran, “saya tidak
merasa.”
Kisah di atas menggambarkan kepada kita, bahwa pembelajar
sejati sangat pelit dengan waktunya, bahkan untuk makan sekalipun.
Keasyikannya menelaah ilmu membuatnya seakan-akan melupakan aktivitas
yang lain. Waktu baginya moment-moment yang sangat berharga dalam
mengarungi samudera ilmu. Waktu adalah harta teramat mahal baginya untuk
senantiasa dibelanjakan pada warung-warung ilmu
di manapun dia menjumpainya. Waktu baginya adalah pedang yang setiap
saat siap memenggal umurnya. Oleh karena itu ia akan senantiasa
memanfaatnya untuk aktivitas mencari ilmu, menelaah, mengajarkan dan
mewariskannya.
Hidup yang sesekali di dunia ini harus di sisi
dengan aktivitas positif dan produktif. Ia harus di sisi dengan belajar.
Jangan pernah sia-siakan waktu tanpa belajar. Belajarlah dari kisah
Sulaim bin Ayyub ar Ra-zi. Ia adalah pembelajar sejati yang sangat
menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu yang dimiliki berlalu
barang sebentar tanpa ada gunanya sama sekali. Ia biasa gunakan untuk
menulis, belajar, membaca, dan seterusnya.
Suatu saat Sulaim bin
Ayyub datang ke rumah muridnya, Syeikh Abu Faraj Al-Isfirayini. Ketika
hendak pamit karena telah selesai keperluannya, Sulaim bin Ayyub
berkata,” Dalam perjalananku ke sini tadi aku berhasil membaca satu
juz.” Suatu hari yang lain Sulaim terlihat memperbaiki penanya yang
patah ketika sedang dipakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya
bergerak-gerak. Rupanya sambil memperbaiki penanya yang patah, Sulaim
juga melakukan aktivitas membaca.
Ada juga kisah hebat pembelajar
sejati bernama Ibnu Aqil Al Hanbali. Saya meringkas semaksimal mungkin
waktu makan. Hingga saya memilih roti kering yang dicelup air dibanding khubz (roti lembab), karena perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyahnya.”
Jika
waktu mengunyah saja amat diperhitungkan oleh Ibnu Aqil, tentu untuk
perbuatan lain yang memakan waktu lebih lama akan dia perhatikan.
Sekarang mari tanyakan kepada diri kita. Sudahkah kita memaksimalkan
perputaran roda hari dalam kehidupan ini untuk belajar? Sudahkah waktu
luang yang kita miliki digunakan untuk meningkatkan pengetahuan kita.
Atau waktu luang itu kita gunakan untuk hal-hal yang sia-sia. Ngerumpi
tanpa juntrungan, menonton tanpa kenal waktu, atau bahkan diisi dengan
melamunkan sesuatu yang tak jelas.
Pembelajar sejati tak rela
hujan ilmu pengetahuan yang mengucur dari langit hikmah tak ditadahnya
ke dalam relung-relung pikirannya. Setiap harinya dia akan menyelam di
samudera ilmu dan berenang di kolam pengetahuan. Dia akan sibak
kegelapan pikirannya dengan menggenggam cahaya ilmu yang disediakan
mentari.
Menggandakan kesabaran
Seringkali
selama proses belajar kita mendapatkan banyak tantangan dan godaan untuk
menghentikan aktivitas belajar. Kita pun juga sering dihantui oleh
perasaan putus asa akan kemampuan kita untuk menguasai ilmu yang sedang
dipelajari. Ketahuilah pembelajar sejati senantiasa menggandakan
kesabarannya. Melewati deraian-deraian air mata ujian dengan rasa
optimis yang senantiasa membumbung tinggi. Tak akan menyerah sebelum apa
yang diinginkan tergapai.
Imam Syafi’i pernah mengungkapkan
”Tidak mungkin menuntut ilmu bagi orang yang pembosan dan sering berubah
pikiran, serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan
tetapi menuntut ilmu itu harus dengan menahan diri, kesempitan hidup,
dan berkhidmat untuk ilmu tersebut. Pasti ia akan beruntung.”
Kenal
dengan Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie? Pastinya kita kena
semua mengenalnya. Maestro dunia penerbangan dan teknologi dari
Indonesia ini lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1939. Ia
dikenal sabar dan tekun dalam menuntut ilmu. Setelah sempat kuliah di
ITB Bandung (1954-1955). Beliau memperoleh beasiswa ke Jerman. Atas
saran Prof M. Yamin dan ucapan Bung Karno tentang pentingnya penguasaan
teknologi penerbangan, akhirnya ia memutuskan mengambil jurusan pesawat
terbang.
Di Jerman, Habibie nyaris tak punya waktu santai. Ia
terus belajar dan bekerja dengan tekun. Kuliah yang berat harus ditambah
dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum ongkos sehari-hari dan
uang kuliah dibayar orang tuanya sendiri. Kadang seharian ia hanya makan
beberapa keeping roti. Di Jerman, mantan presiden RI ke-3 ini, hidup
dengan kondisi yang sangat sederhana.
Kondisi itu memompa
semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada masa liburan dia
tetap belajar. Hasilnya dalam waktu empat tahun dia berhasil menggondol
gelar insinyur Dipl. Ing (Diploma Ingineur) dengan nilai akademik
rata-rata 9,5 (summa cumlaude) pada usia 24 tahun. Prestasi itu dia peroleh dengan tetap aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.
Belajar
dari Habibi, Prestasi lahir dari kemampuan untuk bertahan. Menggandakan
kesabaran di tengah kesulitan-kesulitan yang datang. Seorang pembelajar
sejati akan merasakan bunga-bunga kesuksesan setelah dia mampu bertahan
menyirami bunga-bunga itu dengan kegigihan-kegigihan tak berkesudahan.
Pembelajar Sejati Tinggalkan kampung halaman
Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan
pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup
terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh
menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak
panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari
di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya
dan enggan memandang. Bijih besi bagaikan tanah biasa sebelum digali
dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam
hutan
(Imam Syafi’i)
Tak ada pembelajar sejati yang mengurung diri di kampung halamannya. Pembelajar
sejati adalah pengembara yang selalu ingin mengobati dahaganya akan
ilmu pengetahuan. Imam Bukhari, Shahih Bukharinya diselesaikan selama
enam belas tahun setelah berkeliling dunia mencari hadits dari satu kota
ke kota lainnya. Einstein juga meraih puncak kejayaannya setelah
meninggalkan Jerman menuju Amerika Serikat. Habibi meraih prestasi
mengagumkan karena meninggalkan tanah kelahirannya. Andrea Hirata
menjelajahi dunia karena kesungguhannya dalam belajar dan kemauan yang
keras mengubah nasib. Menyeberangi ganasnya terjangan ombak,
meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang tak ada sanak saudara.
Mengatasi kesulitan-kesulitan hidup. Akhirnya namanya harum menjadi
penulis buku mega best seller Indonesia. Ibnu Batutah penjelajah dunia,
namanya harum karena meninggalkan kampong halaman. Belajar dari
universitas kehidupan yang ditemuinya di manapun dia menjejakkan
kakinya. Masih banyak contoh para pembelajar sejati lainnya yang tak kan
cukup berlembar-lembar tulisan menjelaskannya. Satu yang pasti, mereka
semuanya adalah para pengembara, para musafir, para penjelajah, para hunter yang meninggalkan kampong halaman, menggapi cita-cita dan menggenapi keinginannya menguasai ilmu pengetahuan.
Pembelajar sejati,
tak pernah mau mati sebelum rasa penasarannya terobati
tak pernah mau menyerah akan kesulitan-kesulitan yang menggerogoti
tak pernah mau bermimpi yang tidak akan direalisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar