H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Separuh hidup lelaki tua itu dalam kekelaman jahiliyah. Tumbuh dalam
kehidupan yang keras. Dhajanan adalah kenangan. Adalah sejarah masa
kecil. Adalah bukit yang abadi dalam ingatannya. Sebab di sana ia
menggembala unta. Di sana ia mendapat pendidikan keras. Dan di sana
kepribadian itu terbentuk. Tidak seperti anak-anak yang lain, masa
mudanya dihabiskan dengan hura-hura dan bergelimang harta. Ia kesepian,
sendiri di bukit itu. Tapi Al-Khathab tidak peduli padanya.
“Sungguh, aku telah coba melupakan kenangan itu, tapi hati kecilku berkata padaku.”
Ia
memang tidak menyukai takdir itu. Tapi ia belajar berdamai dengan
dirinya bahwa itulah yang terbaik untuknya. Ia juga tahu diri. Karena
itu ia belajar banyak hal; baca tulis, bergulat, menunggang kuda,
mencipta dan mendendang syair. Kemudian ia menaruh perhatian terhadap
masalah sejarah dan urusan bangsa Arab. Sosial, politik dan budaya
mereka. Ia giat belajar di universitas itu, Pasar Ukazh. Dan kini takdir
itulah yang telah mengajarinya tegar dalam menanggung beban berat.
Takdir itulah yang memberinya keberanian. Takdir itulah yang menciptakan
misi: ia ingin membuktikan bahwa dunia itu salah. Ia bisa berbuat dan
menghasilkan sesuatu. Dan kelak, takdir itu pula yang membawanya pada
kemuliaan. Ia adalah orang yang diberi ilham. Ia yang memiliki kemampuan
seperti nabi. Ia adalah Umar bin Khathab.
Menginjak masa muda, ia
mulai menekuni dunia bisnis. Melakukan kunjungan niaga ke berbagai
daerah. Pada musim panas, Ia berniaga ke negeri Syam dan pada saat musim
dingin berniaga ke negeri Yaman. Dari perniagaan itu ia mendapat dua
keuntungan besar: harta dan ilmu. Harta menghantarkannya menjadi salah
satu orang terkaya di Mekah. Sedang ilmu mengantarkannya menjadi orang
besar.
Tiga puluh tahun dalam jahiliyah. Umar dapat menduduki
posisi strategis di tengah masyarakat Mekah. Kontribusinya sangat
signifikan terhadap berbagai peristiwa. Suku Quraisy mempercayainya
sebagai hakim. Seperti kata Ibnu Sa’ad: “Sebelum masuk Islam, Umar sudah terbiasa menyelesaikan pelbagai sengketa yang terjadi di kalangan bangsa Arab.”
Ia terkenal sebagai orang yang bijaksana, bicaranya fasih, pendapatnya
baik, kuat, penyantun, terpandang, argumentasinya kokoh, dan bicaranya
jelas.
Saat bangsa Arab berada di antara dua imperium besar:
Persia dan Romawi. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan yang
mengintegrasi mereka. Dan mengatur seluruh sisi kehidupan mereka. Setiap
suku mencerminkan kesatuan politik yang independen. Suku-suku bangsa
Arab saat itu saling bermusuhan. Bahasa sosial mereka adalah rimba raya.
Hidup dengan cara melakukan perampasan dan penghadangan di tengah
jalan. Di antara mereka terjadi perang yang berlarut-larut sebab hal
sepele. Maka pantas Umar bin Khathab diangkat menjadi delegasi suku
Quraisy. Duta untuk menangani konflik di antara mereka.
Barangkali
sebab itu Allah SWT memilih Umar bin Khathab dari pada Amr bin Hisyam.
Mungkin sebab itu pula masa kecil Umar bin Khathab begitu keras. Allah
ingin ia menghabiskan separuh hidupnya lagi untuk membantu Rasulullah
dalam berdakwah. Dan itu adalah tugas yang lebih berat dari kehidupan
masa kecilnya yang dianggapnya berat. Sekaligus itu adalah jawaban doa
Rasulullah: “Ya Allah, muliakan Islam dengan orang yang paling Engkau cintai dari kedua orang ini; Amr bin Hisyam atau Umar bin Khathab.”
Begitulah
kisah dibalik keharuman namanya. Tidak ada orang besar tanpa kehidupan
yang keras. Tidak ada orang hebat tanpa pembelajaran. Umar tidak pernah
putus asa dari takdirnya. Baik takdir dirinya ataupun bangsanya saat
itu. Karena itu, jika takdirmu berbeda dengan yang lain. Maka bedalah
cara hidupmu dari yang lain.
Oleh: Hodam Wijaya
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22188/di-balik-keharuman-nama-besar-umar-bin-khattab/#ixzz2465Ye9yV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar