H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah
Beberapa hari
menjelang lebaran, ada fenomena unik yang terjadi dimasyarakat kita
dalam mempersiapkan kedatangan hari kemenangan tersebut. Mulai dari
renovasi ekterior dan interior rumah sampai permak habis dandanan
dirinya. Hampir tidak ada satupun toko pakaian yang tidak dikunjungi
orang, semuanya laris manis diserbu pembeli bak kacang goreng suguhan
hari raya.
Di sebuah kota di Jawa Timur, ada kebiasaan menyambut hari lebaran
yang menurut penulis cukup ekstrim. Ketika persiapan hari besar umat
Islam itu, ada satu kebiasaan bagi perempuan-perempuannya berlomba
memakai perhiasan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah orang yang paling
mulia dan paling dihormati saat itu adalah mereka yang memakai perhiasan
yang paling banyak. Tidak perduli hal itu memakan anggaran yang besar
dan tidak perduli pula perhiasan itu pantas atau tidak ketika dikenakan.
Mereka bersaing membeli perhiasan sebanyak-banyaknya. Entah dari mana
uang yang diperoleh, yang penting bisa memenuhi standar orang “mulia”.
Bagi orang yang ekonominya kelas menengah ke atas, tanpa susah payah
merogoh kocek jutaan rupiah guna membeli perhiasan sebanyak-banyaknya.
Bagi orang dengan ekonomi menengah, mereka memutar otak bagaimana
sekiranya dengan uang yang pas-pasan dapat memperoleh perhiasan
sebanding dengan si kaya. Maka mereka membeli emas dengan kualitas
rendah, atau bahasa gaulnya emas muda.
Dengan begitu, emas yang didapat akan berimbang jumlahnya dengan si kaya tanpa menguras uang.
Beda lagi dengan si miskin, jangankan untuk membeli perhiasan, untuk
kebutuhan sehari-hari saja mereka pontang-panting untuk memenuhinya.
Akan tetapi mereka tetap ngotot “fastabiqul khoirot” ala kehidupan kota.
Golongan ekonomi ke bawah ini mempunyai trik sendiri untuk bisa
bersaing. Jika dirasa mereka memiliki harta semisal motor, televisi dan
lainnya maka tanpa ragu-ragu mereka membarter, guna mendapatkan
perhiasan. Namun bila tidak memiliki dimana sama sekali, maka mereka
dengan sembunyi-sembunyi membeli emas imitasi, agar dianggap mampu
membeli perhiasan.
Fenomena di atas inilah yang sangat menggelitik
pikiran penulis. Apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir masyarakat
kota dan bagaimana dampak dari fenomena ini?
Dari Spiritualis menuju Materialis
Tanpa disadari mindset masyarakat
modern ini telah bergeser dari polapikir yang spiritualistis menjadi
materialistis. Agama yang merupakan salah satu pilar pokok yang
menompang kehidupan keluarga, pada mulanya sebagai satu-satunya sistem
yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari
sistem-sistem lain yang ditawarkan dari hasil produk globalisai.
Ironsinya problem ini tidak lagi hanya mewabah pada level teori namun
juga pada level praktis.
Tidak dapat dipungkiri problem paling berat yang dihadapi masyarakat
sekarang ini adalah penyakit “masyarakat modern”. Di era modern seperti
sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam
kehidupan rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang
cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa disadari telah dijejali
dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
agama melalui media ini.
Adalah budaya global yang didominasi oleh budaya Barat, kini telah
menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat, dan yang lebih dahulu terkena
dampak dari hegemoni globalisasi adalah masyarakat kota.
Salah satu praduk dari globalisasi yang menjangkiti masyarakat kota
adalah budaya materialistik. Sebagaimana diketahui bahwasannya pandangan
materialistis adalah cara pandang yang mengedepankan kehidupan yang
terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan duniawi sesaat, seingga
aktifitas yang dijalankan hanya berkutat pada permasalahan dunia
seperti lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan jasad, pemuasan gaya
hidup dll.
Ketika budaya materialistis telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, maka manusia merubah mindset-nya yang semula agama dan
tradisi kultur menjadi dasar pola-pikir, ke hal-hal yang bersifat
duniawi. Kemulyaan bagi mereka hanya milik orang-orang yang memiliki
harta benda, tingginnya derajat hanya bagi mereka yang memiliki
kesempurnaan fisik semata, sedangkan meraih ilmu bukan untuk kearifan
dan taqarrub kepada Sang pencipta, namun untuk meraih posisi dan harta.
Disinilah letak pangkal kerusakan kehidupan. Bagaimana tidak, hidup
akan menjadi sebuah medan pertempuaran guna meraih kekuasaan dan
kehormatan.
Seharusnya hari raya Idul Fitri adalah moment untuk menjadikan diri
setiap insan Muslim manusia yang Fitri dari dosa-dosa baik yang
berhubungan dengan Ilahi atau haqul adami. Selama sebulan
diberikan keistimewaan melaksanakan perbaikan diri dengan bertaqarrub
serta memohon ampunan kepada Allah SWT. Singkatnya Bulan ramadhan
memberikan fasilitas kemudahan bagi personalitas muslim menjadi hamba
yang dicintai oleh Rabb-nya.
Idul Fitri pada hakikatnya perintah sunnah merayakan ungkapan rasa syukur atas kemenangan jihad akbar melawan
hawa nafsu duniawi selama satu bulan. Seseorang tidak dikatakan kembali
kepada fitrah bila selesai puasa Ramadhan mentalnya masih memandang
duniawi sabagai tolok-ukur dan tujuan akhir dari kehidupan. Apa lagi
yang terjadi adalah sampai pada tingkat perlombaan pamer yang kemudian
berakibat pada saling merendahkan satu sama lain.
Ironisnya, akibat virus materialism, prilaku demikian di kota telah
menjadi tradisi, yang kemudian tradisi tersebut telah merubah mindset masyarakatnya
menjadi sebuah paradigma baru yang kemudian dilestarikan turun-temurun.
Bila hal ini terjadi, maka paradigma yang berkembang tersebut berubah
menjadi sebuah ideologi yang memiliki kebenaran.
Padahal, Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Nilai-nilai dan prinsip Islam yang telah dilanggar antara lain;
Pertama, Islam tidak menghendaki ummatnya
merayakan hari raya dengan simbolik, bermewah-mewahan, Apalagi sambil
memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan
tafakur tentang perbuatan kita selama ini. Hal ini dapat kita lihat
dalam hadis Rasul yang artinya, “Bahwa hari raya ‘Idul Fitri
bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba dan mewah tapi Idul Fitri
itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhannya semakin meningkat.”
Kedua, bermewah-mewahan dengan memamerkan harta dan benda adalah salah satu pernuatan dosa besar yang disebut dengan riya’.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa riya merupakan syirik kecil, walaupun dia syirik asghar (kecil),
akan tetapi dosanya lebih besar dibandingkan pembunuhan dan perzinahan,
karena dia merupakan kesyirikan, dan kesyirikan dosanya lebih besar
dibandingkan dosa-dosa besar selain syirik. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Sa’ad bin Abu Fudhalah Al-Anshari salah seorang sahabat Nabi
-alaihishshalatu wassalam-, beliau berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ, نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي
عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ
اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ
“Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan
orang-orang yang terakhir pada hari kiamat-yang tidak ada keraguan
dalamnya-, maka akan ada seorang penyeru yang menyeru, “Barangsiapa
berbuat syirik dalam suatu amalan yang dia kerjakan untuk Allah,
hendaknya dia meminta balasan pahalanya kepada selain Allah tersebut.
Karena sesungguhnya Allah Maha tidak membutuhkan sekutu.” (HR.
At-Tirmizi no. 3079, Ibnu Majah no. 4193, dan Ahmad no. 17215, serta
dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 482).
Ketiga, yang lebih berbahaya ialah, keyakinan atas
kebenaran tradisi tersebut berubah menjadi paradigm, yang kemudian
membentuk sebuah ideologi. Sudah fitrah manusia cenderung membela
ideologinya karena dianggap memiliki kebenaran. Padahal dalam kacamata
Islam, prilaku bermewah-mewahan dalam lebaran adalah sebuah kesalahan.
Adalah sebuah kesalahan fatal bila melakukan perbuatan salah yang
dianggap benar. Dalam pandangan Islam hal ini bisa berakibat terjerumus
dalam dosa kekafiran karena menganggap perbuatan dosa sebagai kebenaran.
Tradisi lebaran di kota itulah yang kini menjadi salah satu dari
sekian fenomena pergeseran nilai-nilai dari masyarakat kota. Dampak dari
dari pergeseran nilai tersebut telah masuk kedalam dimensi keimanan.
Hal ini sangat berakibat fatal karena bisa menjebak manusia dalam
perbuatan dosa bahkan tidak menutup kemungkinan terjerembab pada
kekafiran. Wallahu A’lam bi showwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar