Jumat, 06 Januari 2012

Al-Qur’an dan Informasi Hak Khusus Pekerja Wanita

Desember lalu, seorang wanita berumur 35 tahun, dirampok dan diperkosa oleh 4 kawanan sopir angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi. Tiga bulan sebelumnya, tepatnya Jumat malam (2/9/2011), seorang karyawati berusia 27 tahun juga mengalami kejahatan serupa, sewaktu menumpang angkot D-02 jurusan Lebak Bulus-Pondok Labu.

Nasib tragis yang dialami kedua wanita di atas menambah daftar korban kejahatan seksual di angkot pada malam hari, yang selama tahun 2011 ini terdapat 5 kasus di wilayah hukum Polda Metro jaya. Hal patut dijadikan bahan renungan bagi instansi/perusahaan agar memperhatikan keamanan para pekerja wanitanya, terutama ketika dalam perjalanan pergi maupun pulang kerja pada malam hari.

Para pimpinan instansi/perusahaan perlu kiranya merujuk pada Al-Qur’an yang banyak menginformasikan tentang hak-hak pekerja, terutama pekerja wanita.

Di dalam kitab suci terakhir itu disebutkan bahwa pekerja wanita memiliki 13 hak yang sama dengan pekerja pria, berupa: 1) jaminan kebebasan beribadah, 2) jaminan keamanan dan keselamatan kerja, 3) memperoleh upah/gaji layak, 4) mendapatkan upah lembur, 5) diberi waktu istirahat yang cukup di sela-sela bekerja, 6) menikmati libur pekanan, 7) diberi cuti tahunan, 8) diizinkan berorganisasi/menjadi anggota serikat pekerja, 9) memperoleh jatah makanan halal dan thayyib, 10) diberi tunjangan sosial dan kesehatan untuk pekerja beserta anak-istrinya, 11) menikmati tunjangan hari tua, 12) mendapatkan fasilitas transportasi , 13) diberi fasilitas asrama/mess.

Namun demikian, sebagai insan yang diciptakan lebih lemah daripada pria, para pekerja wanita juga berhak memperoleh hak-hak khusus, sesuai dengan kodrat keterbatasan fisik dan psikis mereka.

Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada manusia untuk memberikan hak-hak khusus pekerja wanita. Memang secara tersurat, tidak akan kita temukan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan ada kata ‘hak khusus pekerja wanita’. Namun secara tersirat, ada dalil-dalil umum berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan landasan untuk memberikan hak tersebut.

Beberapa hak khusus pekerja wanita yang secara tersirat dikomunikasikan dalam ajaran Islam, di antaranya sebagai berikut:

Memakai busana Muslimah

Islam memerintahkan para wanita muslimah untuk berjilbab pada saat keluar rumah atau bertemu dengan pria yang bukan mahramnya. Perintah tersebut didasarkan firman Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎), “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)

Berdasarkan ayat di atas, instansi/perusahaan wajib memberikan hak pekerja wanitanya untuk berbusana muslimah. Apalagi jilbab pada dasarnya adalah kewajiban asasi pekerja Muslimah, sehingga mereka berdosa jika tidak memakainya. Oleh karena itu, perusahaan yang melarang pekerja wanita untuk berjilbab, berarti sama halnya dengan melanggar aturan Tuhan. Hal ini pernah dialami para perawat dua rumah sakit swasta, masing-masing di Bekasi dan Sidoarjo.

Gaji yang setara dengan pekerja pria 

Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) berfirman, “Dan barang siapa mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”(QS. Al Mu’minun : 40)
Ayat tersebut merupakan bukti keadilan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) kepada hamba-Nya tanpa memandang perbedaan gender. Siapa pun dia, apakah dari kalangan wanita ataupun pria, akan mendapatkan nikmat yang sama dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) di akhirat kelak jika mereka sama-sama beriman dan beramal shaleh.

Sebagai hamba Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎), manusia juga diperintahkan untuk berbuat adil sebagaimana firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan….” (QS. An Nisaa’ : 135)

Salah satu bentuk keadilan adalah memberikan upah yang sama antara pekerja pria dan pekerja wanita. Sebagian perusahaan memberikan upah pekerja wanita lebih kecil, yang biasanya hanya setengah dari upah pekerja pria, meskipun jenis, waktu, dan resiko pekerjaannya sama. Kebijakan diskriminatif ini sangat tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Pemberian upah yang sama merupakan hak pekerja wanita yang wajib ditunaikan perusahaan. Bahkan alangkah lebih baik jika pekerja wanita memperoleh upah yang lebih banyak daripada pekerja pria, mengingat fisik kaum wanita lebih lemah daripada kaum pria.

Mengandung anak

Memiliki anak merupakan hak asasi sekaligus fitrah dambaan setiap manusia, tidak terkecuali kaum wanita. Sebab buah hati dapat menyejukkan pandangan dan menentramkan perasaan ayah-bundanya. Selain itu, anak juga merupakan harta tidak ternilai yang dapat berguna bagi kedua orangtuanya di dunia maupun di akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)menggambarkan keinginan manusia untuk memiliki anak, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran : 14)

Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban memberi jaminan hak asasi pekerja wanita untuk dapat mengandung buah hatinya sendiri, dengan tidak melakukan tindakan yang merugikan pekerja wanita, serta anak yang dikandungnya.
Di Indonesia pernah terjadi berita menghebohkan. Sebagian besar pramugari yang telah menikah di sebuah maskapai penerbangan nasional dikabarkan pernah melakukan aborsi. Tindakan yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) dan rasul-Nya itu terpaksa mereka lakukan agar dapat tetap bekerja sebagai pramugari. Ternyata perusahaan operator angkutan udara tempat mereka bekerja memberlakukan aturan bahwa pramugari yang diketahui hamil akan di-PHK.

Aturan tidak manusiawi tersebut jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM berat dan boleh dikata sebagai bentuk menganjurkan seseorang untuk berbuat kemungkaran yang dosanya tidak hanya ditimpakan kepada pelaku kemungkaran saja, namun juga dipikulkan di pundak orang-orang yang menganjurkan kemungkaran itu.

Cuti haid, hamil dan nifas

Haidh adalah ‘tamu’ bulanan yang pada umumnya tidak mengenakkan kaum wanita, karena terhalang dari banyak aktivitas, termasuk aktivitas ibadah shalat dan puasa. Bagi sebagian wanita, haidh menimbulkan rasa sakit yang luar biasa pedihnya, hingga mereka harus meminum obat/jamu pereda nyeri datang bulan.

Para pekerja wanita yang mengalami haidh berhak diberi cuti demi keselamatan dan keamanan fisik mereka. Apalagi, sebagian pekerja wanita pun tidak dapat konsentrasi bertugas ketika ‘tamu’ bulanannya datang. Al-Qur’an pun memberi isyarat agar mereka diberi dispensasi sewaktu haidh, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)

Begitu juga masalah hamil. Kehamilan merupakan fenomena menakjubkan yang dirasakan oleh wanita. Mereka merasa senang dan bangga akan kehadiran sang janin di dalam rahimnya. Perasaan para ibu hamil berbinar-binar tatkala mengetahui bahwa hasil jalinan kasih sayang dengan sang suami tercinta tidak berapa lama lagi akan lahir sebagai bayi mungil yang lucu dan menggemaskan.

Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) menggambarkan penderitaan kaum wanita ketika mengandung, melalui firman-Nya, “Dan kami perintahkan manusia untuk berlaku baik terhadap kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandung dengan susah payah (menderita kesakitan)….” (QS. Al Ahqaaf : 15)

Dengan kondisi tersebut, maka pekerja wanita yang mengandung berhak mendapatkan masa cuti, terutama ketika usia kehamilan berada pada trisemester pertama dan terakhir. Sebab kehamilan merupakan amanat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) kepada sang wanita, sehingga ia harus berusaha menjaga janinnya agar tetap sehat dan dapat dilahirkan dengan selamat.

Sementara itu, sebagian perusahaan, dengan tanpa memiliki perasaan empati (apalagi simpati), tidak memberikan cuti hamil bagi pekerja wanita yang mengandung. Bahkan ada pula perusahaan yang secara sepihak melakukan PHK kepada mereka. Sikap ini merupakan bentuk pelanggarakan HAM yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) dan rasul-Nya. Marilah kita membayangkan apa jadinya dunia ini seandainya setiap wanita tidak ada yang mau mengandung?

Wanita adalah kaum yang sangat besar jasanya bagi umat manusia. Mereka rela merasakan sakit yang tak terkira pedihnya ketika akan melahirkan kita. Malah pada detik-detik proses nifas pun kaum wanita berada di antara posisi hidup dan mati.

Betapa banyak yang mampu bertahan hidup sewaktu melahirkan buah hati tercinta meskipun tetap merasakan sakit yang luar biasa dahsyatnya. Namun tidak sedikit di antara mereka yang harus meregang nyawa demi kehidupan sang jabang bayi.

Fasilitas tempat penitipan anak Kaum wanita adalah insan yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak mereka, terlebih ketika sang buah hati masih bayi atau balita. Para ibu harus menyusui bayinya agar sang anak tumbuh sehat dan kuat. Oleh karena itu perusahaan diupayakan memberikan fasilitas tempat penitipan anak yang representative di lingkungan kantor/kerja.
Dengan adanya tempat penitipan anak yang tidak boleh dimasuki oleh pria dewasa, para karyawati dapat dengan mudah menyusui anaknya selama bekerja. Ketika sang ibu menjalankan tugasnya, maka sang anak diasuh sementara oleh baby sitter yang digaji oleh perusahaan, atau dibayar sendiri oleh masing-masing karyawati. Fasilitas ini menjadikan ikatan batin antara ibu dan bayinya tetap kuat meski sang ibu aktif sebagai wanita karier. Sementara di Indonesia, fasilitas seperti ini diabaikan.

Pengabaikan ini menunjukkan, seolah perusahaan secara sengaja “memisahkan” ikatan ibu dan anak.
Padahal Allah Subhanahu Wata’ala menganjurkan para ibu agar dapat menyusui buah hatinya secara sempurna sebagaimana firman-Nya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah : 233)

Jaminan keamanan harta, nyawa dan kehormatan

Instansi/perusahaan wajib memberikan perlindungan atas harta, raga, nyawa, dan kehormatan para pekerja wanita. Mereka harus aman selama bertugas maupun selama berada dalam perjalanan ketika berangkat/pulang kerja. Salah satu bentuk jaminan keamanan tersebut adalah dengan memberikan fasilitas transportasi antar-jemput khusus untuk pekerja wanita. Bila lokasi kantor/tempat kerja sangat jauh dari lokasi permukiman, instansi/perusahaan wajib memberikan fasilitas mess/asrama bagi mereka. Banyaknya kasus perampokan, bahkan disertai pemerkosaan di angkot yang dialami para pekerja wanita, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya fasilitas transportasi antar-jemput maupun mess/asrama bagi mereka.

Perintah menjaga keamanan pekerja wanita didasarkan atas firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maa’idah : 2)

Salah satu bentuk tolong-menolong dalam kebaikan adalah saling melindungi kaum wanita agar harta, raga, jiwa/nyawa, serta kehormatan mereka aman dari gangguan orang-orang jahat. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar