Desember
lalu, seorang wanita berumur 35 tahun, dirampok dan diperkosa oleh 4
kawanan sopir angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi. Tiga bulan
sebelumnya, tepatnya Jumat malam (2/9/2011), seorang karyawati berusia
27 tahun juga mengalami kejahatan serupa, sewaktu menumpang angkot D-02
jurusan Lebak Bulus-Pondok Labu.
Nasib tragis yang dialami
kedua wanita di atas menambah daftar korban kejahatan seksual di angkot
pada malam hari, yang selama tahun 2011 ini terdapat 5 kasus di
wilayah hukum Polda Metro jaya. Hal patut dijadikan bahan renungan bagi
instansi/perusahaan agar memperhatikan keamanan para pekerja
wanitanya, terutama ketika dalam perjalanan pergi maupun pulang kerja
pada malam hari.
Para pimpinan instansi/perusahaan perlu kiranya
merujuk pada Al-Qur’an yang banyak menginformasikan tentang hak-hak
pekerja, terutama pekerja wanita.
Di dalam kitab suci terakhir
itu disebutkan bahwa pekerja wanita memiliki 13 hak yang sama dengan
pekerja pria, berupa: 1) jaminan kebebasan beribadah, 2) jaminan
keamanan dan keselamatan kerja, 3) memperoleh upah/gaji layak, 4)
mendapatkan upah lembur, 5) diberi waktu istirahat yang cukup di
sela-sela bekerja, 6) menikmati libur pekanan, 7) diberi cuti tahunan,
8) diizinkan berorganisasi/menjadi anggota serikat pekerja, 9)
memperoleh jatah makanan halal dan thayyib, 10) diberi tunjangan sosial
dan kesehatan untuk pekerja beserta anak-istrinya, 11) menikmati
tunjangan hari tua, 12) mendapatkan fasilitas transportasi , 13) diberi
fasilitas asrama/mess.
Namun demikian, sebagai insan yang diciptakan lebih lemah daripada
pria, para pekerja wanita juga berhak memperoleh hak-hak khusus, sesuai
dengan kodrat keterbatasan fisik dan psikis mereka.
Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada manusia untuk memberikan
hak-hak khusus pekerja wanita. Memang secara tersurat, tidak akan kita
temukan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan ada kata ‘hak khusus
pekerja wanita’. Namun secara tersirat, ada dalil-dalil umum
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan landasan untuk
memberikan hak tersebut.
Beberapa hak khusus pekerja wanita yang secara tersirat dikomunikasikan dalam ajaran Islam, di antaranya sebagai berikut:
Memakai busana Muslimah
Islam memerintahkan para wanita muslimah untuk berjilbab pada saat
keluar rumah atau bertemu dengan pria yang bukan mahramnya. Perintah
tersebut didasarkan firman Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى), “Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha
pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
Berdasarkan ayat di atas, instansi/perusahaan wajib memberikan hak
pekerja wanitanya untuk berbusana muslimah. Apalagi jilbab pada
dasarnya adalah kewajiban asasi pekerja Muslimah, sehingga mereka
berdosa jika tidak memakainya. Oleh karena itu, perusahaan yang
melarang pekerja wanita untuk berjilbab, berarti sama halnya dengan
melanggar aturan Tuhan. Hal ini pernah dialami para perawat dua rumah
sakit swasta, masing-masing di Bekasi dan Sidoarjo.
Gaji yang setara dengan pekerja pria
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) berfirman, “Dan
barang siapa mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk
surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”(QS. Al Mu’minun : 40)
Ayat tersebut merupakan bukti keadilan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) kepada hamba-Nya tanpa memandang perbedaan gender. Siapa pun
dia, apakah dari kalangan wanita ataupun pria, akan mendapatkan nikmat
yang sama dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) di akhirat kelak jika mereka sama-sama beriman dan beramal shaleh.
Sebagai hamba Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى), manusia juga diperintahkan untuk berbuat adil sebagaimana firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan….” (QS. An Nisaa’ : 135)
Salah satu bentuk keadilan adalah memberikan upah yang sama antara
pekerja pria dan pekerja wanita. Sebagian perusahaan memberikan upah
pekerja wanita lebih kecil, yang biasanya hanya setengah dari upah
pekerja pria, meskipun jenis, waktu, dan resiko pekerjaannya sama.
Kebijakan diskriminatif ini sangat tidak berperikemanusiaan dan
bertentangan dengan ajaran Islam.
Pemberian upah yang sama merupakan hak pekerja wanita yang wajib
ditunaikan perusahaan. Bahkan alangkah lebih baik jika pekerja wanita
memperoleh upah yang lebih banyak daripada pekerja pria, mengingat
fisik kaum wanita lebih lemah daripada kaum pria.
Mengandung anak
Memiliki anak merupakan hak asasi sekaligus fitrah dambaan setiap
manusia, tidak terkecuali kaum wanita. Sebab buah hati dapat
menyejukkan pandangan dan menentramkan perasaan ayah-bundanya. Selain
itu, anak juga merupakan harta tidak ternilai yang dapat berguna bagi
kedua orangtuanya di dunia maupun di akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)menggambarkan keinginan manusia untuk memiliki anak, “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran : 14)
Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban memberi jaminan hak asasi
pekerja wanita untuk dapat mengandung buah hatinya sendiri, dengan
tidak melakukan tindakan yang merugikan pekerja wanita, serta anak yang
dikandungnya.
Di Indonesia pernah terjadi berita menghebohkan. Sebagian besar
pramugari yang telah menikah di sebuah maskapai penerbangan nasional
dikabarkan pernah melakukan aborsi. Tindakan yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) dan rasul-Nya itu terpaksa mereka lakukan agar dapat tetap
bekerja sebagai pramugari. Ternyata perusahaan operator angkutan udara
tempat mereka bekerja memberlakukan aturan bahwa pramugari yang
diketahui hamil akan di-PHK.
Aturan tidak manusiawi tersebut jelas merupakan bentuk pelanggaran
HAM berat dan boleh dikata sebagai bentuk menganjurkan seseorang untuk
berbuat kemungkaran yang dosanya tidak hanya ditimpakan kepada pelaku
kemungkaran saja, namun juga dipikulkan di pundak orang-orang yang
menganjurkan kemungkaran itu.
Cuti haid, hamil dan nifas
Haidh adalah ‘tamu’ bulanan yang pada umumnya tidak mengenakkan kaum
wanita, karena terhalang dari banyak aktivitas, termasuk aktivitas
ibadah shalat dan puasa. Bagi sebagian wanita, haidh menimbulkan rasa
sakit yang luar biasa pedihnya, hingga mereka harus meminum obat/jamu
pereda nyeri datang bulan.
Para pekerja wanita yang mengalami haidh berhak diberi cuti demi
keselamatan dan keamanan fisik mereka. Apalagi, sebagian pekerja wanita
pun tidak dapat konsentrasi bertugas ketika ‘tamu’ bulanannya datang.
Al-Qur’an pun memberi isyarat agar mereka diberi dispensasi sewaktu
haidh, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh
itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Begitu juga masalah
hamil. Kehamilan merupakan fenomena menakjubkan yang dirasakan oleh
wanita. Mereka merasa senang dan bangga akan kehadiran sang janin di
dalam rahimnya. Perasaan para ibu hamil berbinar-binar tatkala
mengetahui bahwa hasil jalinan kasih sayang dengan sang suami tercinta
tidak berapa lama lagi akan lahir sebagai bayi mungil yang lucu dan
menggemaskan.
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) menggambarkan penderitaan kaum wanita ketika mengandung, melalui firman-Nya, “Dan
kami perintahkan manusia untuk berlaku baik terhadap kedua
orangtuanya. Ibunya telah mengandung dengan susah payah (menderita
kesakitan)….” (QS. Al Ahqaaf : 15)
Dengan kondisi tersebut, maka pekerja wanita yang mengandung berhak
mendapatkan masa cuti, terutama ketika usia kehamilan berada pada
trisemester pertama dan terakhir. Sebab kehamilan merupakan amanat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه
و تعالى) kepada sang wanita, sehingga ia harus berusaha menjaga
janinnya agar tetap sehat dan dapat dilahirkan dengan selamat.
Sementara itu, sebagian perusahaan, dengan tanpa memiliki perasaan
empati (apalagi simpati), tidak memberikan cuti hamil bagi pekerja
wanita yang mengandung. Bahkan ada pula perusahaan yang secara sepihak
melakukan PHK kepada mereka. Sikap ini merupakan bentuk pelanggarakan
HAM yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و
تعالى) dan rasul-Nya. Marilah kita membayangkan apa jadinya dunia ini
seandainya setiap wanita tidak ada yang mau mengandung?
Wanita
adalah kaum yang sangat besar jasanya bagi umat manusia. Mereka rela
merasakan sakit yang tak terkira pedihnya ketika akan melahirkan kita.
Malah pada detik-detik proses nifas pun kaum wanita berada di antara
posisi hidup dan mati.
Betapa banyak yang mampu bertahan hidup sewaktu melahirkan buah hati
tercinta meskipun tetap merasakan sakit yang luar biasa dahsyatnya.
Namun tidak sedikit di antara mereka yang harus meregang nyawa demi
kehidupan sang jabang bayi.
Fasilitas tempat penitipan anak Kaum
wanita adalah insan yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak mereka,
terlebih ketika sang buah hati masih bayi atau balita. Para ibu harus
menyusui bayinya agar sang anak tumbuh sehat dan kuat. Oleh karena itu
perusahaan diupayakan memberikan fasilitas tempat penitipan anak yang
representative di lingkungan kantor/kerja.
Dengan adanya tempat penitipan anak yang tidak boleh dimasuki oleh
pria dewasa, para karyawati dapat dengan mudah menyusui anaknya selama
bekerja. Ketika sang ibu menjalankan tugasnya, maka sang anak diasuh
sementara oleh baby sitter yang digaji oleh perusahaan, atau dibayar
sendiri oleh masing-masing karyawati. Fasilitas ini menjadikan ikatan
batin antara ibu dan bayinya tetap kuat meski sang ibu aktif sebagai
wanita karier. Sementara di Indonesia, fasilitas seperti ini diabaikan.
Pengabaikan ini menunjukkan, seolah perusahaan secara sengaja “memisahkan” ikatan ibu dan anak.
Padahal Allah Subhanahu Wata’ala menganjurkan para ibu agar dapat menyusui buah hatinya secara sempurna sebagaimana firman-Nya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah : 233)
Jaminan keamanan harta, nyawa dan kehormatan
Instansi/perusahaan wajib memberikan perlindungan atas harta, raga,
nyawa, dan kehormatan para pekerja wanita. Mereka harus aman selama
bertugas maupun selama berada dalam perjalanan ketika berangkat/pulang
kerja. Salah satu bentuk jaminan keamanan tersebut adalah dengan
memberikan fasilitas transportasi antar-jemput khusus untuk pekerja
wanita. Bila lokasi kantor/tempat kerja sangat jauh dari lokasi
permukiman, instansi/perusahaan wajib memberikan fasilitas mess/asrama
bagi mereka. Banyaknya kasus perampokan, bahkan disertai pemerkosaan di
angkot yang dialami para pekerja wanita, salah satu penyebabnya adalah
tidak adanya fasilitas transportasi antar-jemput maupun mess/asrama
bagi mereka.
Perintah menjaga keamanan pekerja wanita didasarkan atas firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maa’idah : 2)
Salah satu bentuk tolong-menolong dalam kebaikan adalah saling
melindungi kaum wanita agar harta, raga, jiwa/nyawa, serta kehormatan
mereka aman dari gangguan orang-orang jahat. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar